EKBIS.CO, YOGYAKARTA – Sebanyak 4.963 ha dan 1.501 ha sawah di Kabupaten Gunung Kidul Yogayakarta mengalami kekeringan. Petani di sana mengalami kerugian yang besar akibat musim kemarau tahun ini.
Hal tersebut merupakan hasil pantauan Kementerian Pertanian yang dilakukan Direktur Perlindungan Tanaman Pangan, Kementerian Pertanian, Edy Purnawan. “Bahkan di antaranya mengalami puso. Ini hasil peninjauan kami bersama petugas POPT di Wilayah Kabupaten Gunung Kidul,” ucap Edy dalam keterangan tertulis yang diterima pada Ahad (23/6).
Kekeringan terjadi di lima kecamatan di Gunung Kidul, berdasarkan katagori Ringan, Sedang, Berat dan Puso periode 1 – 15 Juni 2019. Yakni Kecamatan Semin untuk kategori ringan 874 Ha, sedang 203 Ha, Berat 250 Ha, Puso 350 Ha. Berikutnya adalah Kecamatan Nglipar kategori ringan 367 Ha, sedang 113 Ha dan Berat 40 Ha.
Kecamatan Gedangsari hanya puso 807 Ha. Kecamatan Ngawen kategori ringan 355 Ha, Sedang 279 Ha, berat 171 Ha dan puso 182 Ha. Kecamatan Karangmojo untuk kategori ringan 290 Ha, Sedang 141 Ha, Berat 10 Ha, dan Puso 7 Ha.
Kecamatan Playen kategori ringan 89 Ha, sedang 60 Ha, berat 59 Ha dan Puso 37 Ha. Kecamatan Ponjong kategori ringan 59 Ha, Sedang 40 Ha dan Berat 1 Ha. Sedangkan Kecamatan Patuk terdapat dua kategori yakni Berat 40 Ha dan Puso 113 Ha.
Kecamatan Semanu katagori ringan 6 Ha, sedang 4 Ha dan berat 1 Ha. Sedangkan dua kecamatan Girisubo kategori ringan 1 Ha dan Puso 5 Ha, dan Kecamatan Paliyan hanya katagori ringan 5 Ha. Secara komulatif kekeringan tanaman padi untuk kategori ringan 2.046 Ha, Sedang 840 Ha, Berat 576 Ha dan Puso 1.501 Ha, jelas Edy.
Wilayah yang mengalami kekeringan sebagian besar berupa perbukitan dan pegunungan kapur. Hal ini tampak dari lokasi beberapa kecamatan yang terkena kekeringan seperti tersebut di atas termasuk dalam zona utara dengan ketinggian 200 – 700 m di atas permukaan laut.
Ditambah lagi Varietas padi pada lahan yang mengalami kekeringan adalah Ciherang. Varietas tersebut bukan merupakan toleran kekeringan sehingga kurang mampu bertahan ketika terkena kekeringan. Edy pun menjelaskan terkait dengan tanaman dinyatakan puso akibat kekeringan jika kerusakan tanaman > 85% sehingga tanaman mati dan/atau tidak dapat berproduksi.
“Kami akan mengupayakan pengamatan intensif terutama pada daerah-daerah terkena kekeringan tersebut, melakukan identifikasi ke wilayah yang terkena kekeringan,” ujarnya.
Apabila masih terdapat sumber air (air dangkal) mendorong Dinas Pertanian setempat untuk mengajukan bantuan pompa air kepada instansi terkait (Ditjen Sarana Prasarana Pertanian, Kemtan), atau dengan memanfaatkan sarana pengaliran air dari sumber air yang masih ada. Juga meningkatkan koordinasi dengan instansi terkait untuk mengantisipasi kekeringan antara lain dengan menggunakan Cadangan Benih Nasional (CBN) dan Asuransi Usaha Tani Padi (AUTP) bagi daerah yang terkena Dampak Perubahan Iklim.
Ke depannya perlu sosialisasi dalam melakukan perencanaan budidaya tanaman dengan baik, sesuai iklim dan kondisi setempat. Antara lain dengan pemilihan varietas tahan OPT, penggunaan pupuk berimbang, penerapan Pengendalian Hama Terpadu (PHT) dan penanganan pasca panen. Daerah yang rawan kekeringan menggunakan varietas yang berumur genjah dan toleran terhadap kekeringan (seperti Inpari 38, Situpatenggang, Limboto, Situbangendit, dan varietas lokal lainnya yang memiliki sifat toleran terhadap kekeringan). Kalender tanam terpadu dapat digunakan sebagai salah satu bahan pertimbangan dalam bercocok tanam yang diakses melalui www.katam.litbang.pertanian.go.id.
Perlu juga mengoptimalkan kegiatan Penerapan Penanganan DPI (PPDPI), PPHT dan Dem Area Budidaya Tanaman Sehat/Penanganan Dampak Perubahan Iklim. Terakhir, yang lebih penting lagi mendorong petani untuk mengikuti Asuransi Usaha Tani Padi (AUTP) dan bagi petani yang mengikuti program AUTP dan pertanamannya mengalami puso akibat kekeringan untuk segera mengajukan klaim asuransi dan perkembangannya selanjutnya akan dipantau oleh petugas daerah dan pusat,” pungkas Edy.