Rabu 26 Jun 2019 14:34 WIB

Giant Tutup karena Kalah Saing dengan Convenience Store

Convenience store semakin banyak dilirik masyarakat

Rep: Adinda Pryanka/ Red: Nidia Zuraya
Calon pembeli usai berbelanja di Supermarket Giant, Mampang Prapatan, Jakarta, Ahad (23/6).
Foto: Republika/Putra M. Akbar
Calon pembeli usai berbelanja di Supermarket Giant, Mampang Prapatan, Jakarta, Ahad (23/6).

EKBIS.CO, JAKARTA -- Menteri Koordinator Bidang Perekonomian Darmin Nasution menilai, penyebab tutupnya sejumlah gerai Giant dikarenakan persaingan dari model bisnis antara supermarket konvensional dengan digital. Di sisi lain, muncul model bisnis convenience store seperti Alfamart dan Indomaret kini semakin banyak dilirik masyarakat.

Darmin menjelaskan, model convenience store tidak mengandalkan keuntungan barang dan cenderung lebih efisien dibanding dengan bisnis supermarket konvensional. "Apalagi nanti kalau sudah masuk digital," ujarnya saat ditemui Republika di kantornya, Jakarta, Rabu (26/6).

Baca Juga

Tapi, Darmin menilai, persaingan bisnis ritel modern yang terjadi ini masih dalam tahap wajar. Mereka berlomba-lomba memberikan kenyamanan bagi konsumen sebagai daya tarik. Oleh karena itu, tidak ada yang perlu dirisaukan, termasuk pandangan bahwa daya beli masyarakat sudah menurun.

Darmin menjelaskan, tenaga kerja yang terdampak penutupan gerai ini juga tidak akan ‘rontok’ sekaligus. Sebab, seperti halnya dunia bisnis, akan muncul model bisnis baru yang membutuhkan tenaga kerja. "Tidak begitu saja hilang, mesti ada yang naik di tempat lain," ucapnya.

Sebelumnya diberitakan bahwa Giant akan menutup enam gerai di Jakarta, Bogor, dan Depok pada 28 Juli 2019. Keenam gerai tersebut adalah Giant Ekspres Cinere Mall, Giant Ekspres Mampang, Giant Ekspres Pondok Timur, Giant Ekstra Jatimakmur, Giant Ekstra Mitra 10 Cibubur, dan Giant Ekstra Wisma Asri.

Sementara itu, Ekonom Institute for Development of Economic and Finance (Indef) Bhima Yudhistira menilai, penutupan enam gerai Giant menjadi bukti bahwa terjadinya perlambatan konsumsi rumah tangga. Ini sebagai dampak dari penurunan daya beli masyarakat.

Bhima menjelaskan, masyarakat kelas atas cenderung menahan belanja karena faktor kebijakan pajak pasca tax amnesty dan kegaduhan politik. Sementara itu, kelas menengah menurun kemampuan belanjanya karena alasan lain. "Yakni, pendapatan di sektor komoditas, real estate dan industri menurun," ujarnya.

Di sisi lain, bisnis online belum memiliki kontribusi besar terhadap industri ritel. Meski laju pertumbuhannya tinggi, porsi terhadap total retail masih di bawah dua persen. Jadi, kehadiran mereka tidak dapat dijadikan sebagai faktor penyebab utama gugurnya gerai ritel.

Justru, Bhima menekankan,  yang terjadi saat ini adalah perusahaan retail konvensional memiliki aplikasi marketplace. Barang yang dijual antara online dan konvensional cenderung berbeda.

"Masyarakat masih beli kebutuhan sehari hari seperti makanan minuman di toko fisik," ucapnya.

Dari sisi retailnya, Bhima menuturkan, biaya operasional terus meningkat. Termasuk biaya sewa tempat yang terus naik. Selain itu, biaya logistik tidak mengalami penurunan, justru malah jadi naik meskipun sudah ada tol. Ditambah lagi beban biaya tarif listrik yang menyebabkan marjin keuntungan untuk pengusaha retail semakin tipis.

Untuk mengatasinya, Bhima menganjurkan pemerintah memberikan keringanan Pajak Penghasilan (PPh) Badan buat pengusaha retail. Selain itu, diskon Pajak Pertambahan Nilai (PPN) produk tertentu yang dapat membantu konsumen untuk semakin tertarik belanja.

"Diskon tarif listrik di pusat perbelanjaan untuk tekan biaya sewa plus operasional juga bisa dilakukan," katanya.

BACA JUGA: Update Berita-Berita Politik Perspektif Republika.co.id, Klik di Sini
Advertisement
Advertisement
Advertisement
Advertisement