EKBIS.CO, JAKARTA -- Harga ayam peternak yang anjlok sejak beberapa waktu lalu diduga disebabkan adanya permainan kartel. Proses penelusuran dugaan kartel ayam tersebut pun masih berlangsung guna mencari dalang kartel, meski penelusuran terkesan lamban.
Sejak harga ayam peternak anjlok dan sempat menyentuh ke level rendah Rp 5.500 per kilogram (kg) hingga hari ini, Republika.co.id sudah mencoba menghubungi satuan tugas (satgas) pangan. Namun upaya tersebut tak membuahkan hasil, satgas pangan memilih bungkam terhadap media.
Komisioner Komisi Pengawas Persaingan Usaha (KPPU) Chandra Setiawan mengatakan, penelusuran dugaan kartel ayam sejauh ini belum dapat disimpulkan. Hasil penelusuran investigator KPPU baru akan diserahkan pada (15/7) mendatang di rapat komisi yang akan diselenggarakan institusinya.
“Kami belum tahu apa hasil (penelusuran)-nya,” kata Chandra saat dihubungi Republika.co.id, Jumat (5/7).
Dia menjelaskan, latar belakang penelusuran yang dilakukan KPPU merupakan hasil temuan adanya disparitas harga yang mencolok di tingkat peternak dengan pasar, baik itu di pengecer maupun ritel. Menurut dia, jika dirata-rata harga tertinggi pembelian ayam di tingkat peternak berada di level Rp 12 ribu per kg, harusnya harga yang beredar di pasaran paling tinggi dua kali lipatnya harus berkisar Rp 22 ribu-Rp 24 ribu per kg.
Namun yang terjadi, kata dia, harga yang beredar di pasar tradisional maupun ritel berkisar Rp 30 ribu-Rp 35 ribu per kg. Chandra menjelaskan, dari disparitas harga yang terjadi, pihaknya masih melakukan pendalaman pemeriksaan di tingkat produksi, distribusi, dan pemasaran guna mengetahui siapa dalang kartel yang ada.
“Jadi kita petakan dulu tiap sektor ini, dari hulu ke hilir,” kata Chandra.
Berdasarkan catatan hasil rapat pemerintah pada 14 Juni 2019, di Solo, diketahui bahwa pengaturan sarana produksi peternakan (sapornak) terutama bibit ayam atau day old chicken (DOC) mempengaruhi 27 persen harga ayam hidup atau live bird (LB). Kondisinya saat ini, terdapat oversuplai DOC dan final stock (FS) ayam sebesar 1,5 juta ton per hari. Suplai DOC berasal dari impor yang rekomendasinya dikeluarkan oleh Kementerian Pertanian (Kementan) dan surat perizinan impor (SPI)-nya dikeluarkan Kementerian Perdagangan (Kemendag) kepada integrator.
Dengan kondisi tersebut, Chandra mengaku belum dapat menyimpulkan apakah oversuplai ayam disebabkan adanya impor DOC berlebih yang dilakukan oleh integrator.
Mengacu catatan rapat tersebut, usaha peternakan ayam ras broiler sekitar 80 persennya dikuasai oleh perusahaan ternak terintegrasi (integrator), sedangkan sebagian kecil sisanya dipegang oleh peternak mandiri. Sedangkan usaha ayam ras petelur (layer) justru mengalami kondisi yang berkebalikan.
Terkait dengan dugaan keterlibatan integrator sebagai pelaku kartel, Chandra belum dapat menyimpulkan hingga ke arah itu. Dia menjabarkan, pihaknya masih terus mengumpulkan bukti-bukti kuat yang mendukung siapa-siapa saja kartel yang mengakibatkan dipasritas harga mencolok tersebut.
“Kita masih selidiki lebih jauh, belum bisa menyimpulkan. Kita juga menyelidiki pelaku kartel ini terhubung atau tidak dengan integrator, kita belum tahu,” kata Chandra.
Sekretaris Jenderal Kemendag Karyanto Suprih mengatakan, saat ini pemerintah masih terus melakukan tindaklanjut dugaan kartel tersebut. Dia menyebut, saat ini segenap stakeholder terkait sedang melakukan penelusuran di lapangan untuk mengetahui apa penyebab oversuplai terjadi.
“Kami sedang (menelusuri) di lapangan,” kata Karyanto.
Dia belum dapat memastikan langkah antisipasi selanjutnya terkait pencegahan oversuplai semisal peninjauan ulang impor DOC. Menurut dia yang terpenting saat ini pemerintah terus melakukan segala upaya untuk mengetahui lebih jauh dugaan kartel yang terjadi.