EKBIS.CO, JAKARTA -- Presiden Joko Widodo menegur Menteri ESDM dan Menteri BUMN karena defisit neraca perdagangan dalam sidang kabinet paripurna di Istana Bogor, Senin (8/7). Neraca perdagangan periode Januari-Mei mengalami defisit sebesar 2,14 miliar dolar AS.
Koordinator Koalisi Publish What You Pay (PWYP) Indonesia Maryati Abdullah mengatakan defisit neraca perdagangan akibat impor migas bukan pertama kalinya terjadi. Dia mencatat, dalam lima tahun terakhir, defisit neraca migas telah terjadi.
Menurut Maryati, lantaran tidak segera dibenahi dari awal, maka semakin besar dan membebani fiskal. "Hal ini merupakan persoalan kritikal dan mendasar sehingga memerlukan pembenahan secara integral," ujar Maryati di Cikini, Jakarta, Rabu (10/7).
Maryati menyampaikan, selain melakukan penghematan dan rasionalisasi penggunaan energi berbasis minyak, diperlukan transisi energi secara sistemik dan konsisten, agar terjadi diversifikasi energi dengan baik dan secara makroekonomi tidak membebani fiskal.
"Peringatan mengenai defisit fiskal neraca berjalan ini sudah sering kami sampaikan, bahkan dalam masukan kami kepada kandidat termasuk kepada KPU untuk menjadi bahan debat capres awal tahun ini," ucap Maryati.
Menurut catatan PWYP Indonesia, konsumsi minyak nasional memang mengalami peningkatan yang cukup signifikan dari tahun ke tahun. Dari 2005 hingga 2018, rata-rata laju pertumbuhan konsumsi minyak nasional sebesar dua persen per tahun, namun penemuan cadangan dan kegiatan produksi pertumbuhannya negatif, yaitu -1,5 persen dan -2,6 persen.
Maryati mengungkapkan, secara existing, produksi migas (lifting) nasional diperkirakan akan terus menurun sekitar 4,0 persen per tahun, akibat sumur tua dan lokasi sumber daya yang terletak di daerah frontier, serta cadangan sumber daya migas yang semakin menurun, sementara investasi pada sumur sumur baru berjalan lambat sehingga rentang waktu antara eksplorasi dan produksi juga semakin jauh.
"Evaluasi terhadap defisit fiskal ini menjadi sangat penting. Defisit fiskal menunjukkan adanya anomali dalam pengelolaan energi nasional yang sangat bertumpu pada bahan bakar fosil, dalam hal ini migas," ucap Maryati.
Kata dia, migas masih dipandang sebagai komoditas dan sumber devisa, bukan menjadi trigger bagi pembangunan nasional. Maryati melanjutkan, dalam hal transisi energi, Indonesia juga belum memiliki roadmap yang jelas dan implementasi transisi energi yang belum konsisten sehingga defisit fiskal masih ditanggapi dengan pendekatan reaksi ekspor-impor semata.
Terkait defisit neraca perdagangan, Maryati menilai pemerintah harus bisa mengendalikan defisit, terutama dari impor minyak mentah dan BBM. Maryati meminta pemerintah tidak sekadar menaikkan ekspor non-migas, melainkan juga mengendalikan dan mengurangi impor minyak agar minus neraca perdagangan tidak makin membesar.
"Pada 2016, impor minyak bumi sebesar 148 juta barel, dan diperkirakan akan meningkat menjadi 953 juta barel pada 2050 atau meningkat 6,4 kali lipat," ungkap Maryati.