Ahad 14 Jul 2019 14:31 WIB

Mengapa Indonesia Masih Defisit Migas?

Salah satu faktor yang memengaruhi defisit migas ialah kewajiban penggunaan biodiesel

Rep: Muhammad Nursyamsyi/ Red: Nidia Zuraya
Ladang Migas
Foto: Antara//Zabur Karuru
Ladang Migas

EKBIS.CO, JAKARTA -- Wakil Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) Arcandra Tahar tidak menampik terjadi defisit ekspor minyak dan gas (migas) dalam neraca perdagangan Indonesia (NDI). Berdasarkan data Badan Pusat Statistik (BPS), neraca perdagangan pada Januari-Maret 2019 tercatat defisit minus 2,14 miliar dolar AS atau merosot 25,2 persen dibandingkan periode yang sama tahun lalu dan defisit 3,76 miliar dolar AS atau merosot 26,6 persen secara tahunan.

Sementara, sektor nonmigas tercatat mengalami surplus 1,62 miliar dolar AS, meski turun 28,3 persen dibandingkan akumulasi Januari-Maret 2018.

Baca Juga

Arcandra menyarankan untuk melihat catatan defisit secara holistik dan komprehensif. Dia menyampaikan gas saat ini tidak lagi diekspor mentah dalam bentuk gas alam cair (Liquefied Natural Gas/LNG), melainkan berubah wujud menjadi berbagai produk seperti sarung tangan, kaca, plastik, polyethylene (Pe), dan polypropylene (Pp).

"Makanya sebaiknya kita menyarankan melihatnya jangan sektoral lagi karena gas itu berubah wujud, gas itu bukan lagi bahan baku yang diekspor LNG," ujar Arcandra di Kementerian ESDM, Jakarta, Jumat (12/7).

Arcandra menyampaikan salah satu faktor yang memengaruhi defisit migas ialah kewajiban penggunaan biodiesel 20 persen (B20) untuk kegiatan Public Service Obligation (PSO) dan nonPSO, di mana erapan B20 dalam setahun sebesar 6 juta kilo liter (KL). Penggunaan B20 pada akhirnya menekan penggunaan solar yang selama ini banyak diimpor.

Faktor lainnya ialah pembelian minyak mentah (crude) yang merupakan jatah Kontraktor Kontrak Kerja Sama (KKKS) yang awalnya untuk diekspor. Pertamina sendiri diwajibkan untuk menyerap crude KKKS dalam negeri sejak awal tahun.

"200 ribu barel per hari jatah kontraktor asing, 135 ribunya sudah dibeli Pertamina. Sisanya belum, ini untuk mengurangi defisit," kata Arcandra.

Pemerintah, lanjut Arcandra, juga sedang berupaya melakukan uji coba penggunaan B30 yang diharapkan mampu mengurangi impor solar.

Arcandra menyebutkan produksi minyak cenderung menurun, namun produksi gas relatif stabil. Gas sendiri saat ini lebih banyak digunakan untuk produksi dalam negeri sehingga berimbas pada penurunan ekspor.

"Kita akui migas defisit karena gasnya kita gunakan untuk dalam negeri, sudah 60 persen gas itu untuk produksi dalam negeri," ucap Arcandra.

Arcandra menyampaikan ekspor migas yang berkurang disebabkan perubahan wujud migas yang beralih bentuk dalam berbagai produk seperti sarung tangan, kaca, plastik, polyethylene (Pe), dan polypropylene (Pp). Beragam bentuk baru gas tersebut saat diekspor tidak masuk dalam kategori migas, melainkan nonmigas.

"Migas itu gasnya digunakan untuk penggerak ekonomi dalam negeri, meningkatkan pertumbuhan dengan membangun industri-industri, tapi kalau diekspor, dia masuk nonmigas," ungkap Arcandra.

Arcandra menilai, gas yang telah berubah wujud mendorong pertumbuhan industri, di mana tentu sektor migas akan mengalami defisit dalam NDI, namun di sisi lain ekspor nonmigas semakin meningkat yang diproduksi dari gas

"Bagus nggak kalau makin lama gas itu digunakan di dalam negeri, bagus, tapi ekspor kita makin turun, nonmigas pasti naik, pupuk kita ekspor tapi masuknya ke nonmigas padahal dari gas," ucap Arcandra.

Arcandra mengaku akan mendiskusikan mengenai kategori migas dan nonmigas dengan beberapa instansi terkait. Menurutnya, pemisahan migas dan nonmigas pada NDI sudah tidak relevan. Bagi Arcandra, penyebutan cukup dengan neraca perdagangan tanpa perlu adanya dikotomi migas dan nonmigas.

BACA JUGA: Update Berita-Berita Politik Perspektif Republika.co.id, Klik di Sini
Advertisement
Advertisement
Advertisement
Advertisement