EKBIS.CO, JAKARTA – Asosiasi Daur Ulang Plastik (Adupi) tak mempermasalahkan penolakan Mahkamah Agung (MA) terkait permohonan pengkajian ulang Peraturan Gubernur (Pergub) Bali tentang timbulan sampah plastik. Kendati demikian, diskriminasi terhadap kantong plastik cukup terasa jika dibandingkan dengan jenis sampah lainnya.
Wakil Ketua Umum Adupi Justin Wiganda mengatakan, penolakan permohonan pengkajian ulang terhadap Pergub Bali Nomor 97 Tahun 2018 tentang Pembatasan Timbulan Sampah Plastik merupakan hak MA sebagai pengambil keputusan. Dia juga menyebut, langkah mengajukan judicial review itu didasari oleh sikap pemerintah daerah Bali yang tak kooperatif dalam menanggapi keinganan Adupi untuk menjalin diskusi dan komunikasi.
“Tentu saja kami hormati keputusan itu,” kata Justin saat dihubungi Republika, Selasa (16/7).
Dia menjelaskan, pelarangan kantong plastik baik itu dari peraturan daerah maupun peraturan pusat cenderung diskriminatif. Alasannya, kantong plastik dituduh menjadi penyebab utama timbulan sampah yang ada. Padahal, menurut dia, pengklasifikasian sampah belum sepenuhnya maksimal.
Dia mencontohkan, mayoritas sampah plastik dihitung kapasitas beratnya beserta sampah yang ada di dalam sampah tersebut. Karena umumnya kantong plastik kerap dijadikan tempat sampah dari jenis-jenis sampah lainnya. Sehingga, penghitungan berat sampah plastik dengan yang nonplastik kerap kali dihitung sebagai berat plastik.
"Padahal berat kantong plastiknya kan hanya 2-3 gram, satu sampah biasanya ada yang 2-3 kg (kilogram) dalam kantong plastik sampah,” kata dia.
Justin membeberkan, plastik dapat dikategorikan ke dalam dua kriteria, yakni yang dapat didaur ulang dan yang tidak dapat didaur ulang. Adapun mayoritas sampah plastik yang muncul di timbulan-timbulan sampah merupakan bagian dari sampah yang tidak dapat didaur ulang seperti bungkus kemasan makanan maupun minuman.
Sedangkan, kata dia, plastik yang dapat didaur ulang seperti kantong kresek dan sedotan diklaim dapat didaur ulang. Hal itu juga dapat memberi nilai tambah terhadap industri yang melingkupinya, seperti industri daur ulang hingga pengepul sampah.
Menurut dia, permasalahan sampah saat ini bukan terletak dari keberadaan kantong plastik. Permasalahan timbulan sampah dinilai disebabkan rendahnya realisasi waste management di Indonesia. Sehingga pemilahan sampah yang harusnya sudah dilakukan dari lingkup rumah tangga atau hulu, justru bercecer tak terurus hingga ke Tempat Pembuangan Akhir (TPA).
Terlebih, menurut dia, saat ini belum ada alternatif lain yang dapat menggantikan secara menyeluruh penggunaan kantong plastik. Baik itu untuk kebutuhan belanja, kebutuhan rumah tangga, atau kebutuhan industri. Pelarangan penggunaan plastik hanya akan menjadi tidak efektif mengurangi timbulan sampah apabila pendekatan edukatif dari pemerintah soal waste management tak maksimal.
Belum lagi di sisi lain, dia menjabarkan, kantong plastik diklaim dapat menimbulkan manfaat bagi banyak pihak. Contohnya, dari sekitar 5 juta orang yang berprofesi sebagai pemulung, mayoritas dari mereka diklaim pemasukannya cukup bergantung dari eksistensi sampah plastik. Sehingga dia menekankan pemerintah untuk tidak terlalu diskriminatif terhadap kantong plastik.
Berdasarkan catatan Badan Pusat Statistik (BPS), jumlah sampah plastik di Indonesia mencapai 64 juta ton per tahun di mana sebanyak 3,2 juta ton merupakan sampah plastik yang dibuang ke laut. Mengacu catatan tersebut, kantong plastik yang terbuang ke lingkungan berjumlah 10 miliar lembar per tahun atau sebanyak 85 ribu ton.