EKBIS.CO, JAKARTA -- Menteri Perencanaan dan Pembangunan Nasional (PPN)/ Kepala Bappenas Bambang Brodjonegoro menilai, pertumbuhan ekonomi pada periode 1980 hingga 1996 merupakan kondisi ideal dan optimal bagi Indonesia. Sebab, pada saat itu, ekonomi Indonesia tidak lagi bertumpu pada sumber daya alam (SDA) semata, juga manufaktur.
Selama 16 tahun tersebut, rata-rata pertumbuhan ekonomi Indonesia adalah 6,4 persen. Meskipun nilainya lebih kecil dibanding dengan periode 1968-1979 yang mencapai 7,5 persen, Bambang menilai bahwa kondisi ekonomi dalam rentang waktu 1980-1996 bertumpu pada dasar yang tepat. "Liberalisasi juga terjadi," tuturnya dalam sambutan Konsultasi Pusat Penyusunan Rancangan Awal RPJMN 2020-2024 di Jakarta, Rabu (24/7).
Bambamg menuturkan, pada masa orde baru atau dalam kurun waktu 1980-1996, pertumbuhan ekonomi dapat menyentuh angka tujuh persen karena beberapa hal. Di antaranya baseline rendah dan bertumpu pada komoditas yang saat itu masih unggul, yakni minyak alam dan gas.
Saat itu, Indonesia masih memproduksi minyak di atas 1 juta barel per hari dengan harga jual yang tinggi. Tapi, di saat harga minyak jatuh, ekonomi Indonesia melakukan penyesuaian. "Penerimaan di APBN yang semula hanya PNBP dari minyak, kini beralih ke pajak. Reformasi pajak dilakukan," kata Bambang.
Tidak hanya itu, memasuki tahun 1980, sektor basis pertumbuhan ekonomi Indonesia mulai diversifikasi. Dari hanya minyak dan gas, juga menyentuh sektor hasil hutan seperti kayu. Bambang menyebutkan, manufaktur turut menggeliat terutama di sektor padat karya seperti elektronik dan tekstil.
Tapi, pergeseran kembali terjadi pada 2000an. Ekonomi mulai bergantung pada sawit dan batu bara yang menyebabkan rata-rata pertumbuhan ekonomi Indonesia kembali turun ke 5,3 persen. "Kita patut concern bahwa Indonesia ini sedang mengalami tren penurunan atau perlambatan pertumbuhan ekonomi," ujar Bambang.
Bambang mengakui, pertumbuhan ekonomi Indonesia akan sulit untuk kembali pada masa-masa tujuh hingga delapan persen. Menurutnya, itu adalah nostalgia yang tidak dapat terulang.
Hanya saja, Bambang menilai masih ada harapan pertumbuhan ekonomi Indonesia untuk kembali mencapai enam persen. Hal ini dapat tercapai apabila Indonesia bertumpu pada manufaktur yang dikolaborasikan dengan diversifikasi komoditas SDA.
Selain itu, Bambang menjelaskan, ada beberapa faktor penghambat yang harus diperbaiki. Di antaranya kualitas regulasi dan institusi. Kapasitas anggaran untuk memberikan stimulus mendorong pertumbuhan ekonomi juga masih belum maksimal akibat tax ratio yang masih rendah, yakni 11 sampai 12 persen.