EKBIS.CO, JAKARTA -- Direktur Eksekutif Institute for Development of Economic and Finance (Indef) Tauhid Ahmad menuturkan, masalah utama Indonesia terkait kemudahan memulai bisnis atau Ease of Doing Business (EoDB) adalah kepastian hukum dari kontrak yang dinilai sangat lemah.
Tauhid menyebutkan, banyak kontrak yang tiba-tiba berubah dalam jangka waktu pendek lima tahun. Padahal, semula perjanjiannya merupakan jangka panjang 25 tahun. "Ini sangat mengganggu kepastian berusaha sehingga tidak ada jaminan dan implikasinya investor menjadi tidak nyaman," tuturnya ketika dihubungi Republika.co.id, Rabu (24/7).
Selain itu, Tauhid menambahkan, prosedur untuk memulai berusaha yang ditawarkan pemerintah Indonesia masih lemah. Untuk sebuah prosedur dengan 10 tahapan membutuhkan waktu 19,6 hari dengan biaya 6,1 persen dari pendapatan per kapita. Hal itu yang membuat tidak mudah berinvestasi karena realisasi perizinan masih membutuhkan proses panjang, waktu lama, dan biaya mahal.
Tauhid mengatakan, keberadaan Online Single Submission (OSS) sebagai platform mendapatkan perizinan sudah baik. "Hanya saja, teknologi ini belum benar efektif memotong tahapan, waktu dan biaya perizinan," katanya.
Penyebabnya, Tauhid menjelaskan, banyak kementerian/lembaga yang terlibat dalam proses investasi. Hal itu memang sudah diatur dalam undang-undang, termasuk yang terkait tata ruang, pertanahan, lingkungan, dan sebagainya.
Tauhid menekankan, permasalahan itu dapat diatasi dengan menyiapkan data potensi investasi yang sekarang masih sangat minim. Sejumlah negara sudah membuat peta investasi telah clean and clear dari sisi lokasi, hukum, lingkungan, sosial, hingga dukungan insentif fiskal yang didapatkan. "Ini bisa dibuat dalam waktu satu hingga dua tahun," ujarnya.
Sementara itu, Direktur Asosiasi Pengusaha Indonesia (Apindo) Research Institute Agung Pambudhi mengatakan, ekosistem investasi Indonesia sendiri sebenarnya sudah menunjukkan perbaikan. Hal itu seperti, perbaikan dalam peringkat EoDB dari 129 pada 2013 menjadi 73 pada tahun lalu. Hanya saja, negara lain juga memiliki percepatan peningkatan iklim yang membuat Indonesia agak tertinggal.
Apabila tujuannya untuk memperbaiki peringkat saja, Agung menambahkan, pemerintah cukup melakukan pendampingan terhadap dua kota yang sudah menerapkan praktik baik dalam investasi, yakni Jakarta dan Surabaya. "Indonesia bisa saja naik lagi peringkatnya kalau praktiknya lebih progresif," katanya.
Tapi, Agung menambahkan, peringkat tidak dapat semata menjadi prioritas. Pemerintah harus berbenah sistem, termasuk OSS, yang kini masih menghadapi berbagai kendala. Hal itu seperti, Norma, Standar, Prosedur, dan Kriteria (NSPK) yang lambat hingga hambatan teknis sistem IT.
Agung menganjurkan, OSS difokuskan terlebih dulu ke pelayanan sektor unggulan yang memiliki kontribusi besar ke perekonomian sebagai pilot project. "Jika sudah bagus, baru melangkah ke semua perusahaan," tuturnya.
Melalui pilot project, Agung menilai, pemerintah akan lebih mudah melakukan evaluasi terhadap pelayanan OSS. Dengan begitu, proses pembenahan dapat lebih efektif dilaksanakan dan dunia usaha tidak dikecewakan terhadap kinerja OSS yang belum sepenuhnya siap.