EKBIS.CO, JAKARTA -- Dirjen Perkebunan Kementerian Pertanian Kasdi Subagyono mengatakan turunnya harga karet menjadi salah satu pemicu terjadinya serangan atau wabah penyakit gugur daun atau cendawan Pestalotiopsis sp yang melanda sekitar 381,9 hektare perkebunan karet di Indonesia.
Menurut Kasdi, harga karet yang turun membuat daya beli petani terhadap pupuk juga turun. Akibatnya, kebun karet dirawat seadanya yang kemudian sangat rentan terhadap penyakit.
"Menurunnya ketahanan pohon akibat ketidakmampuan petani merawat kebun sesuai standar. Ini terjadi akibat menurunnya harga karet pada level rendah dalam rentang waktu yang lama," ujar Kasdi dalam konferensi pers di Kemenko Bidang Perekonomian Jakarta, Rabu (24/7).
Berdasarkan data dari Tokyo Commodity Exchange (TOCOM), harga karet mentah untuk kontrak penjualan Juli 2019 mencapai 229,2 yen/kilogram (kg). Capaian itu naik dari rata-rata pengiriman pada Maret 2019 sebesar 187,4 yenper kg.
Sementara dari data Kementerian Perdagangan harga karet pada April 2019 mencapai 1,4 dolar AS per kilogram dari sebelumnya 1,2 dolar AS per kilogram. Namun, kenaikan itu dianggap masih terlalu lemah.
Kementerian Pertanian memprediksi produksi karet hingga akhir 2019 akan menurun hingga 15 persen dari total kontribusi produksi sekitar 3,68 juta ton per tahun.
Ia mengatakan luas perkebunan karet di Indonesia mencapai 3,6 juta hektare dan lahan terdampak serangan jamur yang tercatat Januari-Juni 2019 mencapai 10 persennya atau 381,9 ribu hektare.
Dari rincian luaslahan yang terserang penyakit itu, 232,4 ribu hektare berkategori berat dan 149,6 ribu hektare berkategori ringan. "Apalagi sekitar 85 persen perkebunan karet di Indonesia didominasi perkebunan rakyat," kata dia.
Upaya pemerintah dalam membantu petani mengendalikan penyakit tersebut dengan memberikan bantuan fungisida heksakonazol atau propikanozol.
"Pemerintah juga memberikan bantuan pupuk untuk meningkatkan ketahanan tanaman karet terhadap serangan penyakit cendawan itu," ujarnya.