EKBIS.CO, JAKARTA -- Para pelaku industri menyatakan keberatan dengan pembatasan pengemasan produk dan merek. Pengemasan dengan merek merupakan identitas dan pembeda bagi pelaku industri.
Kebijakan pembatasan merek (branding) dan kemasan polos (plain packaging) sebenarnya telah diberlakukan oleh beberapa pemerintah negara di dunia seperti Australia, Ekuador dan Chile. Ini diterapkan untuk produk tembakau sejak tahun 2014 dan akan diperluas ke produk konsumsi lain yang dianggap mengancam kesehatan masyarakat. Implementasinya mulai dipertimbangkan di Indonesia, tidak hanya tembakau tapi juga makanan dan minuman.
Direktur Industri Hasil Hutan dan Perkebunan Kementerian Perindustrian, Edy Sutopo menyampaikan saat ini pemerintah belum sampai pada tahap produk tanpa merek. Penerapannya baru sebatas peringatan kesehatan bergambar pada industri rokok.
Peraturan ini mengharuskan tampilan peringatan terpampang pada 40 persen area kemasan tembakau. Namun baru-baru ini, Kementerian Kesehatan mengusulkan untuk memperbesarnya hingga 90 persen.
Di industri lain, pembatasan iklan dan pengemasan juga telah diterapkan pada kental manis dan industri analognya sejak November 2018. Sementara itu, pangan olahan dan pangan siap saji juga akan mengalami pembatasan serupa dengan mewajibkan pencantuman pesan kesehatan pada label kemasannya dan atau media informasi dan promosi lainnya mulai September 2019.
Kebijakan di atas dinilai akan sangat berdampak pada minat beli konsumen yang dipengaruhi oleh kemasan informatif dengan desain menarik. Bagi pengusaha makanan dan minuman, menyematkan branding pada kemasan adalah salah satu aset yang penting karena terkait dengan identitas dan pembeda dengan kompetitor.
Managing Director dari Brand Finance Asia Pacific of Brand Finance PLC, Samir Dixit menyatakan sebuah brand memiliki kekuatan yang sangat berpengaruh tidak hanya bagi konsumen. Brand juga bernilai untuk pemegang saham dan nilai bisnis.
Menurutnya, setiap tahun sekitar 95 persen produk baru gagal di pasaran karena kesalahan branding. Konsumen sangat bergantung pada informasi yang ada di kemasan produk. Merek dan kemasan diperlukan agar konsumen terinformasi dengan baik akan kandungan produk, latar belakang produsen, distributor dan masih banyak lagi.
Ia menegaskan pembatasan merek secara perlahan tapi pasti telah merenggut hak para pemilik merek dalam menampilkan identitas produk mereka kepada konsumen. Business Development Director Indonesia Packaging Federation (IPF), Ariana Susanti menyampaikan masih banyak area yang justru berpotensi merugikan konsumen.
Dalam perspektif pelaku usaha, penerapan pembatasan merek yang dilakukan pemerintah umumnya dilakukan mulai dari pengenaan pajak, dan secara bertahap diikuti dengan pembatasan penampilan kemasan serta kewajiban mencantumkan peringatan kesehatan pada kemasan. Pada tahap lebih lanjut, seluruh produk yang dituju hanya dapat menampilkan kemasan polos tanpa desain, disertai nama merek dalam ukuran kecil sesuai ketentuan. Hal ini kemudian diikuti dengan pembatasan iklan promosi hingga larangan pemajangan produk pada pusat perbelanjaan ritel.
Dalam industri makanan dan minuman pembatasan merek bisa memberi dampak yang bermacam-macam. Sebagai konsumen bila disuguhkan dengan produk yang polos, hanya tertera nama dan peringatan saja.
Kemungkinan konsumen tidak bisa mendapatkan informasi yang cukup tentang produk makanan atau minuman tertentu semisal kandungan nutrisinya. Sebagai produsen, Head of Packaging dari PT Nestle Indonesia, Putut Pramono menyampaikan tidak bisa memberikan informasi yang cukup tentang produk dan manfaatnya.
"Namun sebaliknya hal ini juga bisa menjadi kesempatan untuk pekerja kreatif memberikan solusi dengan adanya pembatasan merek ini," kata dia.
Gambar, warna, bentuk, semua punya andil dan dipikirkan matang-matang oleh banyak pihak. Terlebih di era persaingan serba digital saat ini, kombinasi teknologi dan kreasi semakin memacu perusahaan untuk mengembangkan inovasi terbaik yang bermanfaat bagi konsumen.