Selasa 30 Jul 2019 14:21 WIB

Biaya PLTS Atap Jadi Pertimbangan Masyarakat

Investasi awal untuk PLTS atap berkisar Rp 13 juta hingga Rp 18 juta pe kWp

Rep: Muhammad Nursyamsyi/ Red: Nidia Zuraya
Petugas memeriksa Panel Pembangkit Listrik Tenaga Surya di kantor Badan Meteorologi Klimatologi dan Geofisika (BMKG) Juanda, Sidoarjo, Jawa Timur, Kamis (4/7/2019).
Foto: Antara/Umarul Faruq
Petugas memeriksa Panel Pembangkit Listrik Tenaga Surya di kantor Badan Meteorologi Klimatologi dan Geofisika (BMKG) Juanda, Sidoarjo, Jawa Timur, Kamis (4/7/2019).

EKBIS.CO, JAKARTA -- Direktur Eksekutif Institute for Esential Services Reform (IESR) Fabby Tumiwa mengatakan, pada dasarnya masyarakat tertarik menggunakan Pembangkit Listrik Tenaga Surya (PLTS) atap. Hal ini tercermin dari hasil kajian IESR terkait energi surya untuk segmen rumah tangga di Jabodetabek dan Surabaya.

"Hasil studi pasar ini menunjukkan adanya potensi rumah tangga yang tertarik untuk memasang PLTS atap dengan sedikit atau tanpa perhitungan finansial yang ketat, yang dikategorikan sebagai early adopters," ujar Fabby dalam Pemaparan dan Studi Panel Percepatan Pengembangan Energi Surya di Indonesia bertajuk "Solar Day 2019: Chasing The Sun" di Hotel Le Meridien, Jakarta, Selasa (30/7).

Baca Juga

Fabby menambahkan, ada juga kelompok rumah tangga yang akan memasang PLTS atap dengan pertimbangan untung-rugi dan beban investasi awal, yang masuk dalam kategori early followers.

Manajer Program Akses Energi Berkelanjutan IESR, Marlistya Citraningrum atau Citra menjelaskan, persentase rumah tangga yang menjadi early adopters dan early followers sebesar 13 persen untuk Jabodetabek dan 19 persen untuk Surabaya.

"Masyarakat di kedua kota metropolitan ini masing-masing punya persepsi yang unik tentang listrik surya atap dan ekspektasi yang diharapkan dari mengakuisisi teknologi ini. Kedua faktor ini menentukan tingkat purchase intention PLTS atap," kata Citra.

Citra menyampaikan, dengan biaya Rp 13 juta hingga Rp 18 juta per kWp, investasi modal awal untuk PLTS atap masih menjadi pertimbangan penting bagi sebagian besar masyarakat.

Namun, kata Citra, kelompok early followers akan lebih cepat memutuskan memasang PLTS atap apabila memiliki informasi tentang teknologi listrik surya atap yang lengkap, informasi penyedia yang kredibel, tersedianya skema pembiayaan berupa cicilan tetap dengan bunga rendah, paket sistem listrik surya atap berkualitas yang bergaransi dan memiliki layanan purna jual, serta insentif fiskal, yang akhirnya diharapkan dapat mengurangi biaya dan meningkatkan manfaat.

"Persepsi mengenai harga listrik surya atap yang mahal membuat responden di dua kota ini mengharapkan adanya skema pendanaan dalam bentuk cicilan tetap dengan tenor minimal 5 tahun dan adanya insentif lain dari pemerintah yang dapat meringankan biaya di muka, serta jaminan kualitas produk," ucap Citra.

Fabby mengatakan, untuk meningkatkan daya tarik masyarakat untuk memasang PLTS atap, IESR merekomendasikan subsidi harga panel atau modul surya oleh pemerintah dan pemerintah daerah, dan diskon Pajak Bumi dan Bangunan (PBB) untuk periode waktu tertentu bagi rumah yang memasang PLTS atap. Berbagai insentif ini dapat meningkatkan kelayakan finansial dan pengembalian investasi bagi pemilik rumah atau bangunan.

Fabby menilai pemerintah daerah memegang peranan penting dalam pemberian insentif ini, sesuai dengan kewenangan. Fabby mengapresiasi sikap Gubernur Bali yang akan seherat mengeluarkan Peraturan Gubernur tentang Energi Bersih, termasuk mendorong penggunaan PLTS atap.

"Adanya insentif dapat meningkatkan minat masyarakat dan bentuk apresiasi bagi pengguna listrik surya atap," ujar Fabby.

Selain kelompok rumah tangga, lanjut Fabby, Rencana Umum Energi Nasional juga memberlakukan kewajiban penggunaan listrik surya atap sebesar minimal 30 persen luasan atap bangunan milik pemerintah.

IESR, kata Fabby, juga melakukan perhitungan potensi teknis listrik surya atap untuk bangunan milik pemerintah seperti kantor, rumah sakit, universitas, dan sekolah serta bangunan komersial seperti pusat perbelanjaan di Jakarta dan Surabaya.

"Potensi teknis di Surabaya cukup besar, mencapai 35 Megawatt-peak (MWp), untuk gabungan bangunan milik pemerintah dan pusat perbelanjaan. Sedangkan di Jakarta potensinya mencapai 22 MWp," kata Fabby.

Fabby menyampaikan dua universitas negeri besar di Surabaya, ITS dan Universitas Airlangga, menjadi dua lokasi dengan potensi rooftop solar tertinggi. Kata Fabby, di antara 10 besar bangunan dan kompleks bangunan dengan potensi paling tinggi, lima di antaranya adalah mal dan pusat perbelanjaan.

Jakarta juga memiliki potensi yang juga cukup besar dengan mal dan pusat perbelanjaan merupakan kompleks bangunan dengan potensi tinggi. Sementara gedung perkantoran pemerintah pusat (kementerian), pemerintah provinsi, dan pemerintah kota memiliki potensi yang lebih rendah karena kebanyakan berupa high-rise buildings atau bangunan tinggi dengan luasan atap terbatas.

Serupa seperti Surabaya, kompleks universitas di Jakarta juga memiliki potensi tinggi, yaitu Universitas Negeri Jakarta dan Universitas Indonesia Salemba. Fabby berpandanga, listrik surya atap menjadi relevan dengan kebutuhan listrik di kantor pemerintahan dan universitas mengingat kegiatan utama dilakukan pada siang hari.

"IESR mendorong pemerintah untuk menyusun dan menerapkan kebijakan dan regulasi yang memudahkan pengembangan PLTS baik di atap maupun di atas tanah, serta insentif yang dapat meningkatkan keekonomian PLTS pada skala rumah tangga dan skala kecil," kata Fabby menambahkan.

BACA JUGA: Ikuti News Analysis News Analysis Isu-Isu Terkini Perspektif Republika.co.id, Klik di Sini
Advertisement
Advertisement
Advertisement
Advertisement