EKBIS.CO, JAKARTA -- Ekonom Institute for Development of Economics and Finance (Indef) Bhima Yudhistira mengatakan, keberadaan perusahaan rintisan atau startup yang didanai asing justru memperparah defisit neraca perdagangan dan transaksi berjalan sekaligus. Sebab, startup, khususnya yang bergerak di bidang e-commerce, berkontribusi terhadap naiknya impor barang konsumsi.
Bhima menyebutkan, pada 2018, impor barang konsumsi naik 22 persen padahal konsumsi rumah tangga hanya tumbuh lima persen. Sementara itu, asosiasi e-commerce menunjukkan kecenderungan 93 persen barang yang dijual di marketplace adalah barang impor.
"Artinya produk lokal hanya tujuh persen," katanya dalam diskusi online Indef baru-baru ini.
Selain itu, Bhima menambahkan, manfaat keberadaan startup bagi penyerapan tenaga kerja (semi skilled dan high skilled) masih terbatas. Apabila driver online jutaan yang terserap itu sebenarnya lebih masuk kategori low skilled atau hanya mengerjakan pekerjaan yang sederhana.
Sedangkan, sumber daya manusia high skilled startup di Indonesia masih dipenuhi dari tenaga kerja asing atau outsourcing ke negara lain. Contoh kasus adalah Gojek, di mana pengembangan informasi dan teknologi (IT) dilakukan sebagian di Kota Bangalore, India.
Bhima menekankan, hasil data Glassdoor (update per 26 Juli 2019) menunjukkan, gaji Data Scientist di kantor Gojek Bangalore rata rata 2,1 juta rupee per tahun atau dikonversi ke rupiah setara Rp 35,7 juta per bulan. Jadi, upah bukan menjadi sebuah masalah. "Permasalahan utama adalah skill SDM di Indonesia belum memenuhi syarat untuk berkompetisi di dunia ekonomi digital," ujarnya.
Pada prinsipnya, Bhima menjelaskan, ada beberapa kepentingan yang harus dicermati dari dana asing mengalir ke unicorn. Pertama, integrasi horizontal yakni startup di Indonesia digunakan sebagai rantai pasok produk perusahaan lain.
Misalnya, startup unicorn ecommerce digunakan untuk memasarkan produk Taobao, Alibaba dari China. Integrasi juga termasuk outsourcing SDM IT atau high skilled ke perusahaan afiliasi investor.
Poin kedua, pemanfaatan data pribadi untuk pemasaran atau market intelligences. "Dengan gunakan big data, mereka bisa petakan perilaku konsumen indonesia untuk memasarkan produk dari perusahaan lain yang terafiliasi," tutur Bhima.
Ketiga, ketergantungan konsumsi pada layanan yang disuntik oleh investor asing, seperti terlihat pada transportasi online. Bhima menjelaskan, kedua operator melakukan promosi dan diskon tak berkesudahan. Bahkan, ada yang berani beri 90 persen diskon dan/atau cashback.
Diskon itu diberikan agar menciptakan dinding penghalang bagi kompetitor (entry barrier). Jika marketshare sudah mereka kuasai, konsumen tidak ada pilihan lain kecuali memakai produk startup tadi. "Iklim persaingan usaha yang sehat bisa rusak," ucap Bhima.