EKBIS.CO, JAKARTA -- Ekonom Institute for Development of Economics and Finance (Indef) M Rizal Taufikurahman menyoroti rencana pemerintah yang berharap pada sektor konsumsi dan investasi untuk mendorong pertumbuhan ekonomi pada tahun depan. Menurut dia, rencana demikian termasuk aneh.
Rizal menjelaskan, kedua indikator tersebut sangat tergantung pada stabilisasi perekonomian domestik yang hanya akan mendorong sisi permintaan. Padahal, Indonesia saat ini perlu memperbaiki sisi produksi atau ketersediaan. Hal itu dapat dilakukan melalui peningkatan produktivitas sektor maupun industri yang memiliki nilai tambah.
"Tidak hanya orientasi pasar domestik, juga pasar ekspor," ujarnya dalam diskusi online Indef, Jumat (16/8).
Di sisi lain, Rizal menambahkan, investasi merupakan suatu indikator keniscayaan dalam mendongkrak ekonomi Indonesia. Akan tetapi, pemerintah tampak masih belum mempertegas faktor pendorong pertumbuhan investasi, khususnya terkait industri yang berorientasi pada ekspor.
Bila kinerja ekspor ditingkatkan atau diprioritaskan, Rizal menyebut, hal itu akan berdampak pada investasi asing langsung (foreign direct investment/ FDI) dan defisit neraca berjalan (current account deficit/ CAD) yang positif. Dengan begitu, kesenjangan antara kinerja ekspor dengan impor akan menjadi lebih teratasi.
Bila mengandalkan sektor konsumsi dan investasi, Rizal menyebut, pemerintah akan sulit mencapai target dan asumsi makro. Alih-alih kinerja membaik, dia mengaku khawatir justru keadaan akan semakin berat. Bahkan, tidak menutup kemungkinan ekonomi Indonesia akan stagnan pada tahun depan, atau tidak lebih baik dibandingkan tahun kini.
Untuk mengantisipasinya, Rizal mengatakan, pemerintah harus memprioritaskan kinerja produktivitas sektoral. Apabila tidak, dikhawatirkan nilai tambah sulit terbentuk. "Bahkan, peningkatan dalam upaya pemenuhan kebutuhan pasar ekspor sulit tercapai," tuturnya.
Dampak berikutnya, industri dalam negeri dapat semakin memburuk. Poin tidak kalah krusial, Rizal menjelaskan, deindustrialisasi dini yang dikhawatirkan akan terjadi. Artinya, pembentukan nilai tambah dan multiplier terhadap produksi, pendapatan dan penyerapan tenaga kerja kian menurun.
Sebelumnya, Presiden Joko Widodo (Jokowi) menyampaikan asumsi ekonomi makro pada 2020 di hadapan Rapat Paripurna Dewan Perwakilan Rakyat (DPR), Jumat (16/8) siang. Asumsi tersebut mencakup pertumbuhan ekonomi dan inflasi, nilai tukar rupiah, harga minyak mentah Indonesia (Indonesian Crude Price/ ICP), target lifting minyak dan gas bumi.
Dalam asumsi makro tersebut, Jokowi menjelaskan, pertumbuhan ekonomi Indonesia pada 2020 ditargetkan berada pada tingkat 5,3 persen. Konsumsi dan investasi diharapkan dapat menjadi dua motor penggerak utamanya. "Inflasi akan tetap dijaga rendah pada tingkat 3,1 persen untuk mendukung daya beli masyarakat," ujarnya.