Jumat 23 Aug 2019 12:50 WIB

Tumpang Sari Menjawab Fluktuasi Harga Cabai

Faktor utama produksi cabai adalah cuaca. Cabai rentan dengan perubahan cuaca.

Red: EH Ismail
Pedagang cabai melayani pembeli di Pasar Cibinong, Bogor, Jawa Barat, Jumat (9/8/2019).
Foto: Antara/Yulius Satria Wijaya
Pedagang cabai melayani pembeli di Pasar Cibinong, Bogor, Jawa Barat, Jumat (9/8/2019).

EKBIS.CO,  BANDUNG -- Cabai dikenal dengan komoditas dinamis. Harganya dapat naik dan turun bergantung pada kondisi alam. Lain daerah maka lain tipikal cabainya. Di beberapa pulau lain harganya sudah menyentuh harga Rp 30 ribu per kg. Berbeda jauh kondisinya dengan Pulau Jawa. 

Faktor utama produksi cabai adalah cuaca. Cabai rentan dengan perubahan cuaca. Kondisi yang terjadi di lapangan adalah tanaman ini tengah mengalami musim kering. Pada saat siang hari, suhu sangat tinggi sementara di malam hari, suhunya sangat dingin. Perubahan suhu yang sangat kontras ini mempengaruhi pertanaman. 

“Yang bikin produksi bagus bukan besar kecilnya bantuan. Persoalan utamanya adalah cuaca. Kalau siang, cuacanya sangat panas dan anginnya kencang sekali. Kalau malam suhunya terlalu dingin, suka ada embun yang terperangkap di sela-sela daun hingga membeku. Kalau tidak segera disemprot, bikin daunnya mengkeret. Sumber air sendiri tidak masalah di sini,” ujar Ketua Kelompok Tani Campaka II, Uu Jumara saat ditemui di Desa Drawati, Kec. Paseh, Jumat (23/8).

Pada bulan-bulan sebelumnya, kata Uu, Wilayah kecamatannya mampu menyetor cabal ke pengepul hingga 20 ton per hari. Distribusinya ditujukan pasar - pasar Jabodetabek. Namun kini, hanya mampu menghasilkan 2 ton saja. Kendati harga cabai saat ini sedang bagus, produksi yang rendah menjadi hal yang kurang menyenangkan bagi para petani. 

“Kami berpendirian bahwa asalkan harga normal dan produksi bagus, itu sudah cukup. Kadang produksi bagus, harga jatuh dan kami rugi. Ini harga bagus tapi produksinya rendah, tetap kurang menggembirakan buat kami,” lanjutnya. 

Hal menarik, lonjakan harga diakibatkan faktor cuaca ini telah ‘diramalkan’ oleh Uu jauh-jauh hari. “Jadi begini, saya ini kan petani ya. Kejadian ini seperti ulangan tiap empat tahun sekali di mana cuaca kemarau seperti ini akan kembali terjadi. Produksi turun dan harga naik. Jadi petani ya sudah siap-siap, namun demikian kondisi akan kembali normal," imbuhnya. 

Kewaspadaan akan fluktuasi harga ini diantisipasi petani dengan pola tanam tumpang sari. Dalam satu hamparan, petani menanam cabai berbarengan dengan komoditas lain. 

“Kami telah lama membiasakan tanam cabai dengan pola tumpang sari. Baik itu dengan tomat, bawang, buncis, jagung. Apa sajalah yang bisa. Tentunya manfaatnya agar dalam satu lahan kami dapat untung ganda. Selain itu juga buat jaga-jaga mana kala harga cabai jatuh atau produksinya turun,” ujar Uu. 

Bandung sendiri terdapat delapan kecamatan sentra cabai. Di antaranya Kecamatan Paseh, Pangalengan, Cimau, Cikancung, Ranca Bali, Ibun, Pacet, Cimenyan, Ranca Ekek dan Nagreg. Luasan cabai rawit meliputi 300 hektare di beberapa kecamatan sementara cabai besar mencapai 330 hektare.

“Di musim kemarau ini memang ada kecamatan tidak tanam karena kekurangan air. Kalau Paseh, Pangalenan dan Cimau selalu tanam tidak terpengaruh cuaca. Adapun yang ditanam beragam cukup beragam yakni, cabai keriting, cabai rawit hingga cabai besar,” ujar Kasi Sayuran dan Tanaman Obat, Dinas Pertanian Kabupaten Bandung, Felly Fitriyani. 

Mental baja ini diakui petugas penyuluh lapang (PPL) Kecamatan Paseh, Ika Rosmayanti. Dirinya mengatakan, "Petani di sini tidak akan berhenti tanam cabai apapun kondisinya. Mereka akan terus bertanam dan bertani. Bagi mereka, bertani untuk itu untuk hidup. Jadi inilah yang menjadi semangat untuk bertanam".

BACA JUGA: Ikuti Serial Sejarah dan Peradaban Islam di Islam Digest , Klik di Sini
Advertisement
Advertisement
Advertisement
Advertisement