EKBIS.CO, JAKARTA -- Rencana percepatan larangan ekspor ore (bijih nikel) mendapat kritikan tajam dari perusahaan-perusahaan nikel. Menurut Sekretaris Jenderal Asosiasi Penambang Nikel Indonesia (APNI) Meidy Katrin, alih-alih untuk meningkatkan nilai investasi, rencana percepatan larangan ekspor bijih nikel ini justru tidak mendengar masukan langsung dari para pengusaha nikel.
Padahal, kata dia, pemerintah sendiri melalui Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) sudah membentuk Asosiasi Penambang Nikel Indonesia (APNI) untuk wadah bagi para penambang agar bisa saling tukar pikiran. Namun kenyataannya, untuk masalah ini asosiasi tersebut tidak dilibatkan, justru hanya sepihak mendengar masukan pengusaha dan itu dari pengusaha asing.
Dia mengatakan, pengusaha berpotensi mengalami kerugian hingga Rp 50 triliun bila larangan ekspor bijih nikel dipercepat. Kerugian tersebut diantaranya berasal dari pembangunan smelter yang terhambat karena dihentikannya ekspor nikel. Karena pengusaha mengandalkan hasil ekspor untuk membiayai pembangunan smelter.
“Kerugian pengusaha nasional yang masih dalam proses pembangunan smelter bisa mencapai Rp 50 triliun,” kata Meidy dalam keterangan resminya di Jakarta, Ahad (25/8). Tidak hanya itu, kekhawatiran lainnya yakni tambang nikel yang berada di sekitar wilayah smelter dapat diambil alih investor asing jika pembangunan smelter tidak dapat dilanjutkan.
Selain itu, perekonomian masyarakat sekitar di lingkar tambang seperti pemilik warung serta pekerja akan kehilangan mata pencaharian. “Satu tambang memiliki 38 operator alat berat. Operator tersebut terdiri dari operator eskavator 200 dan 300 dozer, dan dump truck. Ada pula petugas helper maintenance, dapur, pengecekan lab, dan pekerja kantor. Jika dijumlah, pekerja tersebut berjumlah 98 orang, ini baru satu tambang ore (bijih nikel),” kata Meidy.
Direktur Center for Indonesia Resources Strategic Studies (Cirrus) Budi Santoso mengatakan, ketika larangan ekspor bijih nikel dilarang dan pemerintah tidak mengawasi harganya, maka berpotensi terjadi permainan harga. Praktik ini sudah terjadi, misalnya kadar nikel 1,8% dibeli dengan harga 20 dollar Amerika Serikat (AS) sedangkan yang kadar 1,7% saja harga pasarnya 32 dollar AS.
Dampak lainnya, kata Budi, yakni ada potensi turunnya PNBP dari sektor minerba karena ekspornya dialihkan untuk penggunaan di dalam negeri, apalagi rencana produksi dari Freeport masih belum maksimal dalam beberapa tahun ke depan.
“Jadi belum ada substitusi devisa yang didapat dari ekspor nikel,” kata dia. Sehingga menurut Budi, alasan mempercepat larangan ekspor bijih nikel untuk meraih investasi besar tak sebanding dengan kerugian yang ada.
Bahkan, larangan ini berpotensi menguntungkan segelintir pihak saja. Itu marena jika larangan ekspor diberlakukan segera maka harga nikel di dalam negeri akan anjlok.
"Padahal sebagaimana diketahui bahwa salah satu perusahaan Nikel yang telah beroperasi di Morowali, Tsing Shan sedang membangun pabrik batere lithium yang membutuhkan bahan baku nikel yang jika harganya turun akan sangat menguntungkannya," ujar dia.
Saat ini memang beberapa smelter China sudah beroperasi di Indonesia, sebut saja perusahaan asal China Tsingshan Holding Group yang merupakan produsen stainless steel dan telah menanamkan investasi ke Kawasan Industri Morowali, Sulawesi Tengah.
Perusahaan ini juga menjadi bagian dari Indonesia Weda Bay Industrial Park (IWIP) yang ikut melakukan pembangunan Kawasan Industri Weda Bay, Halmahera Tengah. IWIP diklaim bakal menjadi kawasan industri terpadu pertama di dunia yang mengolah sumber daya mineral dari mulut tambang menjadi produk akhir berupa besi baja dan baterai dan kendaraan listrik.
Menteri Koordinator Bidang Kemaritiman Luhut Binsar Pandjaitan memang membantah jika ada lobi-lobi smelter China. Bahkan, Luhut memamerkan sederet angka dengan mengatakan, jika ekspor nikel maka RI hanya mendapat 600 juta dollar Amerika Serikat (AS) sampai 700 juta dollar.
Sementara jika ada nilai lebih, tahun lalu misalnya bisa ekspor stainless steel mencapai 5,8 miliar dollar AS setahun. Tahun ini bahkan bisa mencapai US 7,5 miliar dollar AS dan tahun depan bisa 12 miliar dollar AS.
"Jika melihat alasan tersebut, pastinya pasokan bijih nikel dalam negeri akan melimpah. Tapi, bagaimana mau mengolah jika smelternya tidak ada? Pasalnya, sampai dengan 2018, smelter sudah bisa beroperasi baru separuh dari target pemerintah yang sebanyak 57 smelter, atau baru ada 27 smelter yang sudah bisa beroperasi," ujarnya.