EKBIS.CO, DENPASAR -- Ekonom Institute for Development of Economic and Finance (Indef) Bhima Yudhistira menyebutkan, pemerintah patut mewaspadai potensi praktik shadow banking atau perbankan maya. Sebab, kini potensinya semakin besar seiring dengan perkembangan teknologi dan era digitalisasi.
Bhima menuturkan, praktik shadow banking kini semakin canggih. Mereka bahkan melibatkan perusahaan yang berkantor di negara-negara tax haven atau negara yang dengan sengaja memberikan fasilitas perpajakan kepada wajib pajak negara lain agar penghasilan wajib pajak itu dialihkan ke negara mereka.
"Sebut saja Caymand Island, Panama dan sebagainya," ujarnya saat dihubungi Republika, Kamis (29/8).
Bhima mengatakan, keberadaan perusahaan teknologi finansial (tekfin) atau fintech juga menjadi faktor maraknya shadow banking. Permasalahannya, pengawasan fintech yang ilegal di Indonesia masih terbilang lemah.
Bhima mencatat, jumlah tekfin ilegal dapat lebih dari 10 kali lipat yang terdaftar dan diawasi Otoritas Jasa Keuangan (OJK). Artinya, untuk menurunkan potensi shadow banking, pemerintah perlu mengusulkan undang-undang tekfin.
"Jadi, semua regulasi ada payung hukum yang kuat," tuturnya.
Solusi kedua, Bhima mengatakan, insentif bagi fintech untuk kerja sama dengan perbankan. Poin ini harus didesain secara jelas dan diaplikasikan dengan tepat oleh pemerintah. Tujuannya, untuk mendorong integrasi kedua belah pihak, seperti yang kini kerap dikemukakan pemerintah maupun Bank Indonesia (BI).
Di lapangan, Bhima menuturkan, yang terjadi adalah tekfin dan perbankan justru memangsa satu sama lain. Penyebabnya, ekosistem yang kurang mendukung dan belum jelas dalam kemudahan kerjasama kedua belah pihak.
"Harus dibuat paket insentif kerja samanya," ucapnya.
Apabila tidak diatasi melalui payung hukum dan insentif, Bhima cemas, praktik shadow banking terus tumbuh di Indonesia. Hal ini akan berdampak pada pelonggaran pengawasan terhadap praktik keuangan yang mampu memicu transaksi mencurigakan. Misalnya, pendanaan terorisme ataupun narkoba.
Kemudian, jika dibiarkan, shadow banking akan mengganggu makro ekonomi Indonesia. Dalam hal ini adalah menimbulkan potensi adanya gejolak keuangan secara sistemik. "Sebab, kredit ilegal yang bermasalah meningkat," kata Bhima.
Sebelumnya, laporan Konsultan McKinsey & Company bertajuk ‘Signs of Stress: Is Asia Heading Toward A Debt Crisis?’ menyebutkan, risiko kebergantungan pada lembaga keuangan maupun lembaga keuangan non bank (shadow banking) untuk memperoleh pinjaman kini semakin tinggi di Asia. Kondisi ini menunjukkan, sistem keuangan di Asia mulai menunjukkan kerentanan.
Risiko tersebut juga disebut McKinsey sebagai salah satu indikator yang membuat adanya tekanan di seluruh Asia. Indikator lainnya adalah kinerja perusahaan di sektor riil yang sulit dalam melunasi utang negara. Kemudian, tingginya porsi modal asing yang masuk ke negara-negara di Asia.