EKBIS.CO, JAKARTA -- Kepala Pusat Kebijakan Ekonomi Makro Badan Kebijakan Fiskal Kementerian Keuangan (BKF Kemenkeu) Adrianto mengatakan, penurunan proyeksi pertumbuhan ekonomi dari 5,3 persen menjadi 5,1 persen sudah menggambarkan kondisi yang nyata saat ini. Baik situasi di global yang memberikan pengaruh terhadap kinerja ekonomi Indonesia maupun kondisi dalam negeri sendiri.
Adrianto menjelaskan, pemerintah akan tetap berupaya menjaga momentum pertumbuhan ekonomi. Di antaranya dengan memperkuat faktor domestik, yakni konsumsi rumah tangga maupun investasi, agar laju pertumbuhan ekonomi tetap terjaga. "Dari sisi fiskal, kebijakan percepatan belanja terus dilakukan," ujarnya ketika dihubungi Republika.co.id, Jumat (31/8).
Sementara itu, Ekonom Institute Development for Economic and Finance (Indef) M Rizal Taufikurahman menuturkan, penurunan proyeksi pertumbuhan ekonomi yang disampaikan Menteri Keuangan Sri Mulyani merupakan hal realistis. Artinya, pemerintah ingin menunjukkan bahwa ekonomi nasional memang sedang menghadapi masa-masa yang sulit dan menanggung beban tinggi.
Rizal menjelaskan, kondisi tersebut tidak hanya disebabkan dari kinerja dari sisi produksi, juga kinerja sisi permintaan. Selain itu, koreksi target Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) 2019 hingga turun signifikan membuktikan bahwa kebijakan fiskal dan moneter yang tidak efektif.
"Khususnya untuk mendongkrak pertumbuhan ekonomi," tuturnya ketika dihubungi, Jumat (30/8).
Rizal menambahkan, pernyataan Sri Mulyani juga disebabkan kondisi perekonomian domestik sekaligus global. Hanya saja, pengaruh kinerja domestik yang kini sudah sangat lesu menjadi kontributor lebih besar dibanding dengan perlambatan ekonomi global. Penyebabnya, kebijakan yang diterapkan tidak mampu memanfaatkan celah dan peluang perang dagang untuk dapat menarik investor dan perbaikan neraca pembayaran.
Rizal menyebutkan, salah satu kebijakan fiskal yang kurang efektif adalah penerimaan dari pajak. Tax ratio tidak akan mencapai 12 persen dari Produk Domestik Bruto (PDB) selama kebijakan yang diterapkan kini tidak ditransformasi secara signifikan. Khususnya dengan memanfaatkan kerjasama antar negara melalui Automatic Exchange of Information (AEoI).
Di sisi lain, penerimaan pajak berupa Pendapatan Negara Bukan Pajak (PNBP), Badan Layanan Umum (BLU) serta cukai juga masih memiliki nilai rendah. Rizal mengatakan, kondisi ini seiring dengan pemerintah yang masih berharap banyak terhadap komoditas. Padahal, harga komoditas sumber daya alam (SDA) di internasional yang tengah turun.
Pemanfaatan infrastruktur yang masih belum mengangkat pertumbuhan ekonomi juga disebut Rizal sebagai salah satu permasalahan yang harus dihadapi pemerintah. Sejumlah target infrastruktur yang dimaksud seperti pembangunan/rekonstruksi, pembangunan bandara baru, jaringan irigasi, pembangunan rel, dan bendungan. "Pembangunan ini harus lebih terintegrasi, tidak hanya masif," katanya.
Di sisi lain, kebijakan moneter juga masih banyak memiliki kekurangan. Rizal mengatakan, di antaranya suku bunga, pengendalian kurs dan inflasi yang masih belum mendukung kebijakan fiskalnya atau juga sebaliknya.
Kondisi tersebut menunjukkan bahwa selama tahun ini, kebijakan mix baik fiskal maupun moneter tidak prudent dalam mendongkrak ekonomi. Implikasinya, Rizal menjelaskan, kinerja APBN untuk menjaga kesehatan fiskal tidak mudah dilakukan. "Dorongan terhadap investasi dan kinerja ekspor sulit tercapai," ujarnya.
Sebelumnya, Kamis (29/8), Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati memproyeksikan pertumbuhan ekonomi hingga akhir tahun ini hanya berada di kisaran 5,08 persen. Prediksi itu lebih rendah dibandingkan perkiraan sebelumnya yakni sebesar 5,2 persen. Penyebabnya, pertumbuhan ekonomi Indonesia tengah mengalami tekanan eksternal yang cukup kuat.
Pertumbuhan ekonomi nasional sepanjang semester pertama tercatat hanya mencapai 5,06 persen. Sedangkan, pertumbuhan pada semester kedua ini diproyeksikan sekitar 5,11 persen.