EKBIS.CO, JAKARTA -- Negara berpotensi kehilangan pendapatan dari pajak penghasilan (PPh) badan sebesar Rp 1,73 triliun. Ini terjadi menyusul diterapkannya kebijakan diskon rokok seperti diatur dalam Peraturan Dirjen Bea Cukai Nomor 37 Tahun 2017 tentang Tata Cara Penetapan Tarif Cukai Hasil Tembakau.
Potensi kehilangan itu merupakan hasil studi Institute for Development of Economic and Finance (INDEF) pada 2018. Direktur Eksekutif INDEF Tauhid Ahmad memaparkan asal-usul potensi kehilangan pendapatan tersebut.
Potensi itu didapat dari pajak penghasilan rokok yang dijual 85 persen di bawah HJE sebesar Rp 467 miliar. "Lalu pajak penghasilan dari kebijakan harga transaksi pasar (HTP) antara 85 persen hingga 100 persen terhadap harga jual eceran (HJE) sebesar Rp 1,26 triliun," ujar Tauhid memaparkan di Jakarta, Senin (2/9).
Sesuai peraturan Dirjen tersebut, pabrikan rokok diizinkan mematok HTP atau harga jual di tingkat konsumen sebesar 85 persen dari HJE atau harga banderol yang tertulis dalam pita cukai. Bahkan, produsen dapat menjual di bawah 85 persen dari banderol asalkan dilakukan tidak lebih dari 40 kota yang disurvei Kantor Bea Cukai.
Kebijakan diskon menyebabkan omset pabrikan berkurang sehingga PPh badan yang disetorkan ke negara tidakoptimal. “Kami melihat di berbagai merek, terjadi banyak pelanggaran. Sebanyak 289 merek melakukan pelanggaran secara nasional dan paling banyak jor-joran diskon. Contoh di Sumatera ada di Batam, tetapi hampir merata di Indonesia ada temuan yang melanggar ketetapan harga jual,” kata Tauhid.
Karena itu, INDEF meminta pemerintah mengkaji kembali ketentuan diskon rokok. Pasalnya, selain bertentangan dengan tujuan pengendalian konsumsi rokok di Indonesia, kebijakan ini juga menyebabkan penerimaan negara dari PPh badan menjadi tidak optimal.
Ketua Program Studi Magister Perencanaan Ekonomi dan Kebijakan Pembangunan Fakultas Ekonomi dan Bisnis Universitas Indonesia, Vid Adrison, mengatakan tujuan cukai rokok sebenarnya untuk pengendalian dan penerimaan. Masalahnya Indonesia termasuk paling kompleks di dunia, karena terdapat empat dimensi yaitu jenis rokok, golongan produksi, teknik produksi, dan harga. Akibatnya, pengurangan konsumsi dan penerimaan negara tidak optimal.
Pertama, ujar Vid, ada insentif kenaikan harga. Lalu insentif untuk menciptakan merek baru karena ketika dibuat merek baru tarifnya akan lebih rendah. Walaupun 2013 ada aturan hubungan keterkaitan tarifnya berdasarkan kumulatif produksi perusahaan terkait.
Akibatnya variasi harga besar, sehingga orang akan cenderung mencari yang lebih murah. "Ini terjadi biasanya pada produsen yang menggenjot produksi setelah harga cukai diterbitkan,” kata Vid.