EKBIS.CO, EKBIS.CO, JAKARTA— Pemerintah diminta tanggap menyikapi maraknya peredaran rokok elektrik (vape). Sebab, dengan harga jual yang semakin terjangkau oleh kelas menengah ke bawah, bahkan generasi milenial, rokok elektrik diyakini bakal menggerus dan merugikan petani tembakau.
Ketua Pengurus Wilayah Nahdlatul Ulama (PWNU) NTB, Masnun Tahir, mengatakan saat ini harga tembakau sudah anjlok, bukan mustahil akan semakin nyungsep dan berdampak pada pendapatan petani yang terus merosot.
”Pemerintah harus segera menyiapkan regulasi terhadap bisnis rokok elektrik. Sebab, peredarannya berpotensi merugikan petani tembakau, yang selama ini menjadi andalan (salah satunya) Nusa Tenggara Barat (NTB), sehingga karenanya perlu didukung secara pasar dan pemasarannya,” ujarnya dalam keterangan tulis yang diterima Republika.co.id, Sabtu (7/9).
Menurutnya kebijakan pemerintah seharusnya berbanding lurus dengan kepentingan rakyat. Pemerintah sebaiknya memperhatikan manfaat dan mudharatnya, khususnya terhadap kehidupan petani tembakau.
"Dibandingkan rokok elektrik, tembakau tentu lebih bermaslahat bagi orang banyak dalam menunjang perekonomian. Selain hanya dikonsumsi segelintir elite, rokok elektrik juga lebih merupakan cerminan gaya hidup,” ucapnya.
Menurut Masnun tembakau sudah ada sejak zaman nenek moyang dan telah lama dijadikan bahan baku produksi rokok. Berbeda dengan rokok elektrik yang notabene baru muncul belakangan.
Dengan menggunakan cairan zat kimia, rokok elektrik dia yakini memiliki kandungan nikotin dan sejenisnya yang lebih tinggi dibandingkan tembakau yang merupakan hasil panen bumi dan berasal dari tanah.
Wakil Rektor III Universitas Nahdlatul Ulama (UNU) NTB, Irpan Suriadinata, menambahkan rokok elektrik tidak memberikan dampak positif bagi kesehatan dan perekonomian masyarakat.
"Jika tidak diatur, bukan mustahil rokok elektrik justru membawa malapetaka di masyarakat kalangan bawah,” ucapnya.
Diharapkan pemerintah bertindak proaktif, antara lain dengan melakukan penelitian serius terhadap kandungan yang terdapat dalam rokok elektrik. Jika dampaknya sangat berisiko (bagi kesehatan), maka pemerintah harus menyampaikan hal itu kepada masyarakat.
"Yang jelas, sejak dulu orangtua kita mengonsumsi rokok tembakau dan hingga kini tidak ada masalah,” ucapnya.
Secara khusus, Irpan menyayangkan maraknya penggunaan rokok elektrik di kalangan milenial, termasuk yang di NTB. Padahal, sebagian besar petani NTB merupakan petani tembakau.
"Ini tentu sangat merugikan petani tembakau. Karena, cepat atau lambat, keberadaan dan maraknya rokok elektrik akan berdampak pada harga jual tembakau yang semakin murah,” katanya.
Dari sudut pandang agama, Wakil Rais Syuriyah PWNU NTB, TGH Sohimun Faisol, mengatakan rokok tembakau hukumnya makruh. Sehingga, apabila ada alternatif pengganti rokok tembakau, maka altenatif itu harus lebih baik dari tembakau.
Namun, jika rokok elektrik sebagai alternatif justru memiliki risiko lebih tinggi, maka rokok tembakau seyogianya tidak perlu diganti.
”Itu sebabnya NU mengatakan rokok (tembakau) tidak haram (makruh). Lagi pula, petani tembakau dan masyarakat yang menjual rokok diuntungkan dengan keberadaan rokok tembakau,” ungkapnya.
Sohimun mengingatkan maraknya peredaran rokok elektrik tidak terlepas dari masalah dagang. Karena itu, jangan sampai berkembangnya rokok elektrik justru membuat perekonomian petani tembakau di NTB maupun di Indonesia terpuruk.
"Kalau itu terjadi, catatan dampak negatif rokok elektrik akan bertambah. Selain berimplikasi pada kesehatan, juga berimplikasi pada kehidupan petani tembakau,” ucapnya.