EKBIS.CO, JAKARTA -- Keputusan pemerintah menaikkan tarif cukai hasil tembakau sebesar 10 persen pada 2023 dan 2024 menuai reaksi kecewa dari elemen ekosistem pertembakauan, hulu hingga hilir. Adapun besaran dua digit tarif CHT akan memukul enam juta tenaga kerja di dalam ekosistem pertembakauan.
Ada 2,5 juta petani tembakau, 1,5 juta petani cengkeh, pekerja pabrik sigaret kretek tangan hingga industri yang terkena dampak keputusan ini. Menurut Sekjen Aliansi Masyarakat Tembakau Indonesia (AMTI) Hananto Wibisono keputusan tarif cukai hasil tembakau 2023 dan 2024 menunjukkan pemerintah tidak secara cermat menimbang nasib para pekerja ekosistem pertembakauan. Khususnya dia menyoroti tarif cukai hasil tembakau segmen sigaret kretek tangan yang diputuskan naik lima persen akan mengakibatkan kontraksi serapan tenaga kerja.
"Sejak pandemi hingga sekarang di tengah sinyal resesi, ketika PHK berbagai sektor terjadi, di ekosistem pertembakauan justru segmen sigaret kretek tangan mampu menjaga keberlangsungan tenaga kerja dalam dua tahun terakhir. Sebesar 95 persen adalah perempuan atau ibu-ibu yang mengambil peran sebagai tulang punggung keluarga. Namun, dalam memutuskan menaikkan tarif cukai hasil tembakau 2023 dan 2024, pemerintah sepertinya tidak mempertimbangkan hal ini," ujarnya dalam keterangan tulis, Senin (7/11/2022).
Dia menekankan pemerintah perlu menyadari ancaman resesi di depan mata juga akan menjadi tantangan tersendiri bagi ekosistem pertembakauan. Adanya enam juta tenaga kerja di ekosistem pertembakauan, berarti ada 24 juta penghidupan yang tergantung di dalamnya.
"Realitanya, elemen ekosistem pertembakauan yakni segmen sigaret kretek tangan justru masih mampu berkontribusi menyerap tenaga kerja. Kami berharap pemerintah dapat membuka mata atas situasi ini dan menunjukkan komitmen keberpihakannya, dengan mempertimbangkan kembali besaran tarif cukai hasil tembakau segmen ini," ucapnya.
Dari sisi hulu, petani tembakau dan cengkeh juga akan merasakan efek langsung dari keputusan tarif cukai hasil tembakau 2023. Pada tahun ini, para petani menghadapi kondisi cuaca yang membuat kuantitas serta kualitas hasil tembakau dan cengkeh tidak optimal. Ditambah dengan kenaikan cukai hasil tembakau 2023 dan 2024, maka dipastikan akan menambah beban para petani.
"Secara otomatis, ketika cukai hasil tembakau naik, maka pabrikan akan berhitung, mengatur strategi yang berujung pada pengurangan jumlah serapan tembakau petani. Apalagi selama ini, segmen sigaret kretek tangan lah yang menyerap paling banyak tembakau dan cengkeh petani," katanya.
Tak sampai di situ, kondisi mahalnya berbagai barang kebutuhan, pencabutan pupuk subsidi, dan resesi di depan mata, menurut Hananto akan semakin mematikan mata pencaharian para petani. "Tembakau sebagai tanaman semusim yang masih terus menjadi andalan petani semakin terlindas oleh kebijakan yang tidak berpihak,"ujarnya.
AMTI berharap pemerintah dapat meninjau ulang besaran kenaikan tarif cukai hasil tembakau 2023 dan 2024 demi kemaslahatan jutaan tenaga kerja di dalamnya. Keputusan cukai hasil tembakau yang eksesif saat kondisi inflasi dan ancaman resesi, dikhawatirkan justru akan mematikan seluruh penghidupan di ekosistem pertembakauan
"Situasinya saat ini, enam juta tenaga kerja di ekosistem pertembakauan saat ini dihantui oleh bayang-bayang pengurangan tenaga kerja, pabrikan dan industri yang sedang sekuat tenaga menjaga kestabilan operasional, pedagang UMKM skala kecil yang sedang bangkit hingga konsumen yang berupaya memulihkan daya beli akan merasakan dampak secara langsung dan menyeluruh akibat naiknya tarif cukai hasil tembakau. Kami mohon pemerintah dapat meninjau ulang dan memberi kesempatan agar ekosistem ini dapat pulih dan bertumbuh," ucapnya.