EKBIS.CO, BANGKOK -- Guna memperkuat integrasi ekonomi di kancah negara kawasan, para menteri dari negara-negara di ASEAN sepakat memanfaatkan digitalisasi perdagangan dan teknologi industri 4.0. Kesepakatan ini dicapai dalam pertemuan ASEAN Economic Ministers (AEM) ke-51 di Bangkok, Thailand, Jumat (6/9) lalu.
Menteri Perdagangan Enggartiasto Lukita menyampaikan, kesepakatan tersebut dijalankan dengan mengadopsi empat prioritas capaian ASEAN yang bertujuan mendukung kesiapan negara anggota ASEAN menghadapi era revolusi industri 4.0. Keempat prioritasnya antara lain ASEAN Digital Integration Framework Action Plan (DIFAP), Guideline on Skilled Labour and professional Services Development in Response to The Fourth Industrial Revolution (4IR), ASEAN Declaration on Industrial Transformation to Industry 4.0, dan Policy Guideline on Digitalisation of ASEAN Micro Enterprises.
"Kesepakatan yang dicapai para Menteri Ekonomi ASEAN memanfaatkan digitalisasi perdagangan dan teknologi industri 4.0, dimaksudkan untuk memperkuat integrasi ekonomi," kata Enggar dalam siaran pers yang diterima Republika, Sabtu (7/9).
Menurut dia pengadopsian keempat dokumen tersebut menunjukkan semakin berkembangnya arah kerja sama regional ASEAN. Selain itu, pengadopsiam itu juga menunjukkan upaya ASEAN untuk beradaptasi dengan kebutuhan zaman guna mempersiapkan kapasitas sumber daya manusia (SDM) industri serta usaha kecil dan menengah (UKM) agar siap dan tanggap dalam menghadapi tantangan di era perdagangan digital.
Pada pertemuan tersebut, para perwakilan negara juga mengkaji kembali implementasi Cetak Biru Masyarakat Ekonomi ASEAN atau ASEAN Economic Community (AEC Blueprint) 2025, termasuk capaian atas 13 hasil ekonomi prioritas di bawah kepemimpinan Thailand di ASEAN pada 2019, serta sejumlah hubungan ekonomi eksternal ASEAN. Sebagai catatan, pertemuan AEM-AFTA Council dan AEM-AIA Council sebelumnya, Mendag RI bersama para Menteri Ekonomi ASEAN juga telah mengawali rangkaian Pertemuan AEM ke-51 dengan menghadiri agenda Pertemuan ASEAN Free Trade Area (AFTA) Council ke-33 dan Pertemuan ASEAN Investment Area (AIA) Council ke-22 pada hari yang sama.
Pada Pertemuan AFTA Council ke-33, Mendag mengungkapkan para Menteri ASEAN kembali membahas perkembangan liberalisasi perdagangan barang di ASEAN serta berbagai kondisi yang menjadi tantangan selama ini. Menurut Enggar, ada dua hal yang menjadi perhatian utama Indonesia dalam pertemuan Menteri AFTA.
Pertama, yaitu terkait transposisi pos tarif Vietnam untuk produk kendaraan terurai atau completely knocked down (CKD) yang dinilai tidak transparan. Kedua, isu lama mengenai pos tarif minuman beralkohol Indonesia yang masih masuk dalam General Exception List (GEL).
Menteri AFTA dari Indonesia, Kamboja, Vietnam, dan Singapura mendesak Menteri AFTA Vietnam untuk memastikan bahwa tarif setiap komponen pembentuk CKD adalah 0 persen. Seharusnya Vietnam menginfokan nilai tarif untuk produk CKD sebesar 0 persen. Namun Vietnam malah menghapus tarif untuk produk CKD dan penetapan pos tarifnya didasarkan bukan pada kesatuan produk utuhnya, melainkan per komponen.
Akibatnya, kata Mendag, proses mendapatkan tarif preferensi ekspor CKD dibebani dengan penyiapan dokumen preferensi per komponen CKD. Dia menjelaskan, Menteri AFTA dari keempat negara tersebut sepakat meminta Menteri AFTA Vietnam agar memberikan solusi transparansi atas dampak dihapuskannya pos tarif CKD yang ada dalam transposisi tariff reduction schedule (TRS) atas tarif ASEAN (ASEAN Harmonized Tariff Nomenclature/AHTN) 2012 ke AHTN 2017.
“Pertemuan AFTA Council menyetujui mencoba menyelesaikan permasalahan ini yaitu melalui side letter (pernyataan terpisah) oleh Vietnam. Namun, Indonesia menegaskan bahwa side letter tersebut harus dibuat sedemikian rupa, sehingga dapat menjadi panduan bagi petugas bea cukai ASEAN di lapangan,” ujarnya.
Sementara itu, terkait dengan pos tarif minuman beralkohol, pihaknya mengungkapkan masih kesulitan mengeluarkannya dari dalam daftar produk yang dikecualikan atau General Exception List (GEL) dari pengenaan tarif preferensi, meskipun isu ini telah lama dibicarakan. Hal ini dikarenakan isu minuman beralkohol merupakan isu sensitif dalam negeri Indonesia.
Posisi Indonesia tersebut juga didukung Menteri AFTA Malaysia. Negara-negara ASEAN, kata Enggar, juga telah mendesak Indonesia dan Malaysia menuntaskan masalah ini dalam perundingan ATIGA sejak 2007. Meskipun demikian, para Menteri AFTA Council sepakat perlu mencari jalan keluar yang jelas atas isu berkepanjangan yang ada di ASEAN, agar kredibilitas ASEAN di mata dunia dapat terjaga.
Sedangkan di sisi lain pada pertemuan AIA Council, para pejabat perwakilan tiap negara fokus membahas perkembangan kerja sama investasi di ASEAN. Sejumlah negara ASEAN termasuk Indonesia telah melakukan upaya reformasi kebijakan investasi yang diharapkan dapat menarik sejumlah investasi asing atau foreign direct investment (FDI) ke wilayah ASEAN.
"Para menteri juga membahas penyelesaian ratifikasi sejumlah protokol untuk mengubah ACIA (ASEAN Comprehensive Investment Agreement) yang mengatur ketentuan mengenai perkembangan promosi, fasilitasi, dan perlindungan investasi di kawasan ASEAN," ungkapnya.