Jumat 13 Sep 2019 18:36 WIB

Kementan Serap dan Olah Kedelai Petani Garut-Cianjur

Bahan baku itu diolah menjadi tempe, tahu dan susu kedelai dengan branding GREATS.

Red: Budi Raharjo
Direktorat Jenderal Tanaman Pangan sejak tahun 2018 mengambil dan mengolah hasil produksi kedelai petani Garut dan Cianjur.
Foto: Humas Kementan
Direktorat Jenderal Tanaman Pangan sejak tahun 2018 mengambil dan mengolah hasil produksi kedelai petani Garut dan Cianjur.

EKBIS.CO, JAKARTA -- Kementerian Pertanian (Kementan) bercita-cita mewujudkan kembali swasembada kedelai. Produksi kedelai saat ini memang belum mencukupi kebutuhannya, namun demikian di tahun 2019 target Kementan tanam 1 juta hektare kedelai baik monokultur maupun tumpangsari padi jagung agar bisa mendongkrak produksi nasional.

Indonesia memiliki sejumlah wilayah yang menjadi sentra tanaman kedelai. Yang paling sentral di Jawa Tengah, Cilacap, Kebumen, Purworejo, Grobogan. Kemudian di Sukabumi terus ke selatan terus sampai di daerah Garut.

“Misalnya Grobogan, Lamongan, Kebumen, itu setelah musim padi, air tidak cukup, bisa untuk nanam kedelai,” ujar Direktur Pengolahan dan pemasaran Hasil Tanaman Pangan, Gatut Sumbogodjati, di Jakarta, Jumat (13/9/19).

Gatut menyebutkan untuk membantu menyerap kedelai petani, Direktorat Jenderal Tanaman Pangan sejak tahun 2018 mengambil hasil produksi kedelai petani Garut dan Cianjur. Rata-rata kami ambil dua minggu sekali sebanyak 200 kg, harga per kg nya sekitar Rp 8.000 sudah sampai diantar di Jakarta. “Selanjutnya bahan baku kedelai dari petani itu kami pasok ke pengrajin tahu tempe. Namanya Tahu Onoh," katanya.

"Nantinya bahan baku itu diolah menjadi tempe, tahu dan susu kedelai dengan branding GREATS. GREATS itu sebenarnya singkatan dari Gurih, Renyah, Enak, Aman, Tanpa GMO, dan Sehat," kata Gatut.

Lebih lanjut disebutkan Gatut, untuk pemasarannya sementara ini masih di lingkup Kementan, selain itu juga ada gerai outlet Greats di Kementan. Ke depannya Kementan ingin memperluas jangkauan pemasaran agar bisa membantu petani kedelai.

"Kami ingin mengenalkan bahwa kedelai lokal kita lebih unggul dan patut untuk terus dikembangkan," ucapnya.

Kedelai produk dalam negeri memiliki kualitas lebih baik ketimbang kedelai impor. Gatut menjelaskan secara aspek budi daya tentu lebih baik, memiliki karakteristik fisik dan kimia terbaik.

Lalu sifatnya nonmodifikasi genetik (Non GMO/Genetic Modified Organism) dengan mutu yang lebih baik, nilai gizi yang lebih baik, mampu mencegah penyakit degeneratif, serta rasa dan aromanya pun lebih baik. "Kandungan protein kedelai lokal sebanyak 52,7 persen, lebih tinggi dibanding kedelai impor yang hanya 46 persen. Kemudian, sifat nonmodifikasi genetik (Non GMO/Genetic Modified Organism) sebagai keunggulan dari kedelai lokal," katanya menjelaskan.

photo
Direktorat Jenderal Tanaman Pangan sejak tahun 2018 mengambil dan mengolah hasil produksi kedelai petani Garut dan Cianjur. (Humas Kementan)

Kedelai lokal merupakan kedelai asli hayati dan bukan kedelai transgenik seperti kedelai impor. Sementara kedelai yang ditanam di negara-negara maju 80 persen adalah organisme yang telah dimodifikasi secara genetik.

"Terakhir, dari sisi mutu kedelai lokal memiliki mutu terbaik. Kedelai yang dihasilkan petani lokal lebih berkualitas dalam aroma dan kesegarannya. Kondisi ini terjadi karena kedelai impor itu sudah dipanen 3 bulan lalu atau bahkan telah bertahun-tahun," pungkas Gatut.

BACA JUGA: Update Berita-Berita Politik Perspektif Republika.co.id, Klik di Sini
Advertisement
Advertisement
Advertisement
Advertisement