Mungkin tak banyak yang tahu bahwa PT Pindad merupakan perusahaan tertua di Indonesia yang masih bertahan hingga kini. Cikal bakalnya adalah bengkel militer Pemerintah Kolonial Belanda yang berdiri tahun 1808.
Pindad kini dikenal sebagai BUMN yang memproduksi alat-alat pertahanan dan perangkat industrial. Perusahaan ini memperoleh status BUMN-nya pada 1983.
Dalam statusnya itu, Pindad diposisikan sebagai ujung tombak dalam upaya memandirikan industri pertahanan nasional. Karena itu, Pindad tidak ingin tertinggal dalam penguasaan teknologi mutakhir agar mampu bersaing dengan produk dari negara lain. Sebab, industri pertahanan yang mandiri dapat memperkuat daya tangkal (deterrence) negara dalam konteks menjaga kedaulatan negara.
Pindad memiliki dua divisi. Pertama, Divisi Bisnis Pertahanan Keamanan, yang memproduksi senjata, amunisi, dan kendaraan militer. Kedua, Divisi Bisnis Industrial, yang memproduksi alat mesin pertanian, alat berat, crane, alat perkerataapian, mobil listrik, dll.
Menurut Abraham Mose, Direktur Utama Pindad, kebutuhan terhadap alutsista (alat utama sistem pertahanan) akan terus ada, terutama dari Polri dan TNI, yang permintaannya cenderung meningkat.
Di luar pasar domestiknya, Pindad juga menggarap pasar luar negeri. Sejak 2006, Pindad bekerjasama dengan beberapa negara, antara lain Kamboja, Nigeria, Malaysia, Australia, Korea Selatan, Singapura, Timor Leste, Filipina, dan Laos.
Bahkan, kini Pindad akan terus berekspansi, terutama ke negara-negara Asia dan Timur Tengah. “Mereka sangat tertarik untuk bekerjasama dengan Pindad, terutama pada produk senjata dan amunisi,” ujar Mose.
Sang Dirut menilai kemampuan sumber daya manusia, mesin, dan teknologi yang dimiliki Pindad sudah cukup mumpuni. Hanya saja, yang masih menjadi tantangan adalah beberapa komponen pendukung produk-produknya masih harus diimpor. “Untuk hal ini, diperlukan goodwill dari pemerintah dan kebersamaan kita untuk membangun industri hulu yang mampu mendukung end product Pindad,” kata pria 58 tahun ini.
Agar tetap relevan dengan zamannya, menurut Mose, Pindad selalu melakukan evaluasi untuk melihat apa saja yang dibutuhkan TNI, Polri, dan para pelanggannya di luar negeri, baik untuk produk pertahanan dan maupun produk industrial.
Mose menuturkan, setiap karyawan Pindad tidak cuma mesti bisa memahami pembuatan senjata, kendaraan tempur, dan sebagainya, tetapi juga harus mengerti sistem dan cara bekerja suatu produk. Tak mengherankan, peningkatan kemampuan SDM menjadi agenda penting Pindad.
“Kami sudah berencana mendirikan Pindad Corporate University untuk meningkatkan kemampuan SDM, terutama dalam penguasaan teknologi di bidang industri pertahanan dan industrial,” katanya.
Selain bidang SDM, Pindad menjalankan proses revitalisasi dalam hal produksi dan pemanfaatan teknologi. Menurut Mose, paling tidak setahun sekali Pindad harus meluncurkan satu produk inovatif, hasil dari inovasi internalnya. “Produk inovatif ini pun harus bisa menjual dan relevan,” ujarnya. Karena itulah, Pindad terus bekerjasama dengan unit litbang TNI dan Polri.
Sebagai buktinya, Pindad menghadirkan beberapa produk inovatif. Di antaranya, medium tank, Komodo berbahan bakar biodiesel B20, senapan serbu bawah air, senjata otomatis, water cannon, Excava Amphibious, Pertashop, Roket RHAN 122B, dan AMH-o.
Hal yang juga membanggakan, Pindad telah mendukung TNI, sehingga dapat menjuarai 12 kali berturut-turut kejuaraan tembak internasional ASEAN Armies Rifle Meet dan Australian Army of Skill Arms Meeting melalui produk unggulan Pindad, SS2-V4. Selain itu, Panser Anoa dari Pindad pun telah ikut serta dalam misi perdamaian PBB.
Mose mengatakan, sebelumnya Pindad hanya fokus pada pengembangan produk, tidak melakukan aktivitas kerjasama. “Karena itulah, kami sedang memperkuat strategic partnership dengan beberapa perusahaan vendor teknologi di dunia,” ungkap pria yang menjabat sebagai dirut sejak 2016 ini. Ia yakin, dengan peningkatan penjualan ini, Pindad akan masuk dalam daftar 100 perusahaan terbaik di industri pertahanan dunia.
Memasuki era Industri 4.0, menurut Mose, Pindad akan menerapkan digitalisasi dan otomasi. Kuncinya, peningkatan kemampuan SDM tanpa mengurangi karyawan yang ada. Sebagai contoh, sebelumnya Pindad memproduksi 195 juta butir peluru per tahun dengan 2.000 karyawan. “Ke depannya, kami akan mencoba memproduksi 75 juta butir peluru per tahun dengan hanya 20-25 karyawan karena menggunakan mesin otomatis,” ungkapnya.
Pertumbuhan bisnis Pindad secara umum berasal dari dua model, yakni kontrak dan penjualan. Dari kontrak, pertumbuhannya cukup besar, 30-40% dalam lima tahun terakhir. Adapun dari model penjualan, pertumbuhannya bisa di atas 20%, bahkan hampir 30% dalam lima tahun terakhir.
Mose mengungkapkan, pada tahun 2019 ini Pindad menargetkan nilai kontraknya bisa mencapai Rp 7,9 triliun dan nilai penjualan Rp 5,7 triliun. Adapun target laba bersih Rp 145 miliar.
Dalam konteks Pindad Incorporated, Pindad telah memiliki beberapa anak perusahaan. Yaitu, PT Pindad Engineering Indonesia (manufaktur), PT Pindad Medika Utama (Rumah Sakit Pindad, untuk melayani captive market dan non captive market), PT Pindad Global Sources and Trading (pemasok umum dan kontraktor), serta PT Pindad International Logistic (penyediaan jasa logistik terpadu).
“Di era sekarang, hal yang paling penting adalah terus melakukan inovasi, karena perkembangan industri pertahanan sangatlah pesat,” kata Mose. (*)
Chandra Maulana dan Jeihan Kahfi Barlian