EKBIS.CO, JAKARTA -- Nilai tukar (kurs) rupiah yang ditransaksikan antarbank di Jakarta pada Senin (30/9) sore melemah seiring meningkatnya permintaan dolar yang dipicu ketidakpastian global. Hal itu dinilai menggelisahkan meski Bank Indonesia yakin rupiah masih berpotensi menguat.
Rupiah ditutup melemah 22 poin atau 0,16 persen menjadi Rp14.195 per dolar AS dibandingkan dengan posisi sebelumnya di Rp14.173 per dolar AS. Direktur PT Garuda Berjangka Ibrahim Assuaibi menyampaikan, kekhawatiran negosiasi antara Cina dan Amerika Serikat (AS) tidak akan mengarah pada kesepakatan perdagangan kedua pihak.
Kondisi itu malah memperdalam ketidakpastian politik di AS setelah dimulainya penyelidikan pemakzulan terhadap Presiden Donald Trump. "Kondisi ini membuat para investor gelisah dan mendorong permintaan dolar," kata Ibrahim di Jakarta, Senin (30/9).
Menurut Ibrahim, pasar mengabaikan berita pemerintahan Trump mempertimbangkan untuk menghapus daftar perusahaan Cina dari pasar saham AS. Namun, sentimen investor tetap rapuh. Negosiator perdagangan utama Cina Liu He akan menuju ke AS pada Oktober untuk putaran baru pembicaraan perdagangan.
Rupiah pada Senin (30/9) pagi dibuka melemah Rp 14.163 dolar AS. Sepanjang hari, rupiah bergerak di kisaran Rp 14.163 hingga Rp 14.195 per dolar AS.
Sementara itu, kurs tengah Bank Indonesia pada Senin ini menunjukkan, rupiah melemah menjadi Rp 14.174 per dolar AS dibandingkan dengan hari sebelumnya di posisi Rp 14.197 per dolar AS.
Secara terpisah, Direktur Eksekutif Departemen Komunikasi Bank Indonesia Onny Widjanarko mengatakan, nilai tukar rupiah masih akan terus menguat di tengah perekonomian global yang mengalami perlambatan. Rupiah terlihat menguat sebesar 0,9 persen point to point (ptp) dan 1,0 persen secara rata-rata pada September 2019 dibanding Agustus 2019.
Onny mengatakan, nilai tukar rupiah masih mampu menghadapi situasi yang kurang kondusif tersebut dan masih tetap menguat sepanjang 2019. Sepanjang September, rupiah diyakini masih bertahan dibandingkan Agustus. "Perkembangan nilai tukar rupiah waktu tahun 2018 terpuruk sampai Rp 15 ribu, jadi saat ini ya masih cukup baik dan tetap kuat," kata Onny di Kabupaten Badung, Bali, akhir pekan lalu.
Onny menjelaskan, penguatan rupiah ditopang beberapa hal, antara lain mengalirnya aliran modal asing yang masuk ke Indonesia. Aliran ini sejalan dengan prospek perekonomian nasional yang baik dan daya tarik investasi aset keuangan domestik yang tinggi.
"Rupiah menguat walaupun naik turun. Kenapa? Karena kurs rupiah cukup kuat dibanding dengan negara-negara emerging market lainnya," kata Onny.
Kepala Ekonom Bank Mandiri Andry Asmoro menambahkan, kepercayaan investor asing tetap besar pada Indonesia. Sebab respons kebijakan ekonomi Indonesia selama ini dipandang cukup positif dibandingkan dengan negara berkembang seperti Argentina atau Turki.
Di samping itu, pelonggaran kebijakan suku bunga AS membuat kupon obligasi milik Pemerintah AS yang bertenor 10 tahun (US Treasury) ikut turun hingga level 1,5 persen. Sedangkan, kupon obligasi negara Indonesia masih menjadi salah satu yang tertinggi di antara negara-negara berkembang.
Kupon obligasi pemerintah bertenor 10 tahun mencapai 7,29 persen per 26 Agustus lalu. Sedangkan kupon riilnya sebesar 3,97 persen.
"Dengan asumsi FFR yang flat di tahun depan, maka potensi inflow ke Indonesia setidaknya masih akan sekuat tahun ini. Real yield kita masih sangat menarik," kata Andry. N novita intan/antara ed: fuji pratiwi