EKBIS.CO, JAKARTA -- Pemerintah diminta menutup celah kebijakan cukai rokok pada aturan yang ada saat ini. Celah tersebut terkait sistem cukai rokok yang membedakan besaran tarif cukai berdasarkan jumlah produksi perusahaan.
Wakil Direktur Visi Integritas Emerson Yuntho mengatakan, celah itu memberikan ruang bagi perusahaan besar untuk membayar cukai rokok mesin golongan 2 atau golongan tarif cukai murah. Padahal perusahaan itu memiliki omset triliunan rupiah dan penjualan miliaran batang rokok per tahun.
"Golongan 2 ini sebenarnya diperuntukkan bagi perusahaan rokok kecil dan menengah karena tarifnya yang jauh lebih rendah dibandingkan golongan 1. Namun sayangnya, itikad baik pemerintah dimanfaatkan oleh konglomerasi rokok global," kata Emerson dalam keterangan tertulisnya Selasa (15/10).
Dengan celah aturan tersebut, pabrikan rokok besar bisa membayar cukai rokok buatan mesinnya dengan tarif murah. Bahkan, tarif cukai yang dimanfaatkan konglomerasi rokok global tersebut setara dengan tarif cukai rokok kretek tangan, yang menyerap banyak tenaga kerja dan merupakan warisan budaya Indonesia.
Berdasarkan penelitian Indonesia Budget Center (IBC), celah dalam aturan cukai rokok ini menyebabkan hilangnya potensi penerimaan negara sebesar Rp 6,25 triliun pada2019. Emerson mendorong divisi pencegahan Komisi Pemberantasan Korupsi untuk ikut jeli melihat potensi kebocoran dari penerimaan negara. Terlebih, cukai rokok merupakan salah satu penyumbang penerimaan negara yang cukup signifikan.
Sementara Direktur Advokasi Pusat Kajian Anti Korupsi Universitas Gajah Mada (Pukat UGM), Oce Madril menyatakan, kebijakan saat ini memunculkan peluang kebijakan yang bisa disalahgunakan. “KPK harus mereview kebijakan cukai. Berdasarkan review itu, KPK terbitkan rekomendasi revisi kebijakan kepada Menteri berkaitan dengan perbaikan kebijakan yang harus dilakukan sehingga celah dapat dihindari,” ujarnya.