Warta Ekonomi.co.id, Jakarta -- Insiden Wamena yang terjadi tempo lalu membuat pemerintah mengambil aksi pemblokiran layanan daring di seluruh wilayah Papua dan Papua Barat. Periode tersebut disebut Billy Mambrasar, pendiri startup asal Papua, Kitong Bisa, merugikan mereka.
"Sangat (merugikan). Buat yang pernah menjalankan bisnis, pasti tahu satu hari internet mati saja, sudah kederlah," ujar Billy di Gedung Kemenkominfo, Selasa (15/10/2019).
"Istilahnya operational cost, kami harus bayar gaji karyawan, bayar ongkos pengiriman, begitulah," tambahnya.
Baca Juga: Palapa Ring Mengudara, Kitong Bisa Targetkan Pertumbuhan Startup 20%
Meski begitu, sebagian perusahaan rintisan yang ada di Papua tidak merugi. Hal ini dikarenakan beberapa perusahaan rintisan menggunakan sistem gudang yang terletak di Pulau Jawa. Hal ini digunakan karena banyaknya permintaan dari Pulau Jawa.
"Tetapi setengah dari startup kami, tadi kami bilang pusat ekonomi ada di Jawa, jadi kami pakai sistem warehousing di Jawa. Jadi, produksi banyak dikirim simpan di Jawa. Tidak bisa on order," katanya.
Akibat hoaks yang menjadi penyebab dari insiden di Wamena, Billy mengatakan, akan membuat aplikasi penangkal hoaks.
"Kami sama teman-teman sedang mendorong untuk membuat aplikasi antihoaks. Jadi, itu yang ditakutkan pemerintah pusat kan, meningkatkan konflik di Papua dan daerah lain dengan hoaks atau kabar dusta," ujarnya.
"Kami sedang membuat aplikasi dengan bentuk komunitas untuk mengidentifikasi dan langsung memblok berita-berita dari sumber yang tidak jelas. Yang isinya ekstrimisme, radikalisme, apapun itu. Itu dibuat oleh teman-teman yang bergabung dengan Kitong Bisa," tambahnya.
Baca Juga: Mengulas Kesulitan Akses Permodalan Startup di Bumi Cendrawasih
Meski demikian, fokus dari penangkal hoaks ini baru akan dijalankan di Papua karena, menurut Billy, hoaks yang tersebar di Papua cukup unik. Billy tidak bersedia menjelaskan lebih lanjut mengenai keunikan hoaks yang ia sebut.
"Kayanya kami mau bikin untuk di Papua karena hoaks di Papua itu agak sedikit unik ya. Jadi, konflik yang kemarin terjadi karena berita yang tidak terverifikasi," pungkasnya.