EKBIS.CO, JAKARTA -- Kementerian Pertanian melalui Direktorat Jenderal Peternakan dan Kesehatan Hewan (Ditjen PKH) bekerja sama dengan instansi terkait serta Badan Pangan dan Pertanian Perserikatan Bangsa-Bangsa (FAO) terus memperkuat kolaborasi dalam menanggapi kemungkinan terjadinya penyakit demam babi Afrika (ASF) di Indonesia. Hal ini didasari dengan sudah mewabahnya virus ASF di China, Vietnam, Kamboja, Laos, Myanmar, Philippina, dan yang terakhir di Timor Leste.
Informasi tersebut disampaikan Fadjar Sumping Tjatur Rasa, Direktur Kesehatan Hewan, Ditjen PKH, Rabu (16/10). Menurutnya penyakit demam babi Afrika (ASF) adalah penyakit virus menular yang menyerang babi. Penyakit ini menyebabkan kematian hingga 100 persen pada babi yang diternakkan (domestikasi), juga dapat menulari babi liar yang lebih tahan dan dapat menjadi reservoir virus.
Penyakit babi ini diketahui dapat mengakibatkan kerugian ekonomi yang tinggi pada sektor peternakan babi. Virus ASF dapat menyebar dengan mudah, baik melalui melalui kontak langsung dengan babi ataupun ektoparasit (caplak) yang terkontaminasi, pemberian pakan babi yang berasal dari sisa daging babi atau produk olahannya yang tidak dimasak sempurna, material pembawa (fomites) termasuk pekerja, pengunjung, petugas, peralatan peternakan, dan kendaraan serta pakan mentah yang terkontaminasi.
Untuk menilai potensi risiko masuk dan menyebarnya ASF di Indonesia, Fadjar menyampaikan bahwa Kementan sebelumnya telah melakukan pertemuan antar sektor tingkat daerah dan nasional di Sumatera Utara pada tanggal 7-8 Oktober 2019. Pertemuan ini bertujuan untuk merancang rekomendasi mitigasi risiko pengendalian kasus apabila terjadi dikemudian hari.
Berbagai sektor dari lingkup Kementerian Pertanian seperti Direktorat jenderal Peternakan dan kesehatan Hewan, Balai Besar Penelitian Veteriner Bogor serta Pusat Karantina Hewan dan Keamanan Hayati Hewani, bersama-sama dengan pemerintah daerah di provinsi Sumatera Utara, pihak bandara, pelabuhan dan peternak babi ikut serta melakukan analisis risiko dan estimasi risiko dari wabah ASF. "Risiko terjadinya ASF harus kita petakan dan nilai, sehingga Indonesia siap untuk mengambil langkah-langkah strategis dalam mencegah masuknya penyakit, dan juga siap untuk mengendalikan apabila nanti terjadi" ungkapnya.
Fadjar juga menjelaskan bahwa mitigasi risiko yang efektif, komprehensif, dan terintegrasi antarsektor terkait merupakan kunci untuk mencegah masuk dan menyebarnya virus ASF di Indonesia. Langkah-langkah yang dapat dilakukan yakni dengan membentuk tim surveilans untuk melakukan pengawasan dan respon penyakit secara partisipatif bersama masyarakat dengan edukasi, pendampingan dan penyeliaan peternak/rumah tangga peternak babi.
Lebih lanjut, Fadjar menyampaikan pentingnya melaporkan dan memberikan rekomendasi kepada Bupati/Walikota untuk penerbitan Peraturan Bupati/ Walikota untuk pembatasan lalu lintas babi dan produk babi, penutupan wilayah serta mengupayakan dana tanggap darurat pada Pemerintah Kabupaten/Kota
"Kita juga harus melakukan tindakan mencegah masuknya ASF ke wilayah dan peternakan yang belum tertular dengan memperketat kebijakan impor, dan mengontrol setiap produk babi yang masuk ke Indonesia," tambahnya. Selain itu diperlukan program Komunikasi, Informasi, dan Edukasi (KIE) untuk peningkatan pengetahuan yang baik di kalangan peternak dan masyarakat umum terutama di daerah dengan populasi babi yang banyak.
Peternakan babi.
Hal penting lain menurut Fadjar adalah pentingnya pemahaman tentang ASF dan penerapan biosekuriti yang ketat dan berkelanjutan oleh peternak babi dan peternakan komersial. Ini dilakukan dengan cara peningkatan pengetahuan dan keterampilan melalui bimbingan teknis terstruktur.
"Pemerintah daerah juga harus mulai mengidentifikasi dan meregistrasi pedagang/pengepul dan pemotong babi serta alat angkut yang digunakan. Hal ini diperlukan agar tidak ada kontaminasi oleh virus ASF dan mengurangi risiko penularan/penyebatan" jelasnya.
Menghindari keresahan masyarakat terhadap bahaya ASF, Fadjar menegaskan bahwa penyakit ini tidak berbahaya bagi manusia atau bukan merupakan masalah kesehatan masyarakat (non-zoonosis).
Namun demikian, virus ini dapat bertahan lama dalam suhu dingin maupun panas dan relatif tahan terhadap disinfektan serta sampai saat ini belum ada vaksin yang efektif melawan virus ASF. "Setelah babi terinfeksi, cara paling efektif untuk mencegah penyebaran adalah dengan memusnahkan populasi babi yang tertular," pungkasnya.