EKBIS.CO, JAKARTA -- Direktur Deregulasi Penanaman Modal Badan Koordinasi Penanaman Modal (BKPM) Yuliot menilai, perbaikan koordinasi antara Kementerian/ Lembaga (K/L) menjadi solusi utama dalam meningkatkan iklim investasi dan kemudahan berusaha di Indonesia. Upaya ini disampaikannya mengingat peringkat Ease of Doing Business (EoDB) atau kemudahan berbisnis Indonesia masih berada di peringkat ke-73, berdasarkan laporan terbaru Bank Dunia.
Yuliot mengatakan, dalam rangka perbaikan EoDB, pemerintah sebenarnya sudah melakukan reformasi dengan menerbitkan 18 regulasi yang terkait dengan seluruh indikator. Hanya saja, reformasi ini belum memberikan dampak pada peringkat EoDB 2020 yang dirilis Bank Dunia pada Kamis (23/10). "Sebagian regulasi baru terbit dan implementasinya setelah responden menyampaikan isian survei EoDB pada Februari dan Maret 2019," ujarnya saat dihubungi Republika, Kamis (25/10).
Yuliot menuturkan, perbaikan koordinasi K/L juga akan diimplementasikan dalam Online Single Submission (OSS) versi terbaru atau OSS V.1.1. Sistem terbaru juga memungkinkan koordinasi antara pemerintah pusat dengan daerah semakin baik.
Dari sisi perbaikan, Yuliot juga mencatat reformasi ditandai dengan perbaikan index (Distance to Frontier) sebesar 1,6 basis poin. Di lain pihak hampir seluruh negara juga melakukan perbaikan dengan laju yang lebih cepat. "Sehingga, angka ranking kita masih tetap 73," tuturnya.
Selain memperbaiki koordinasi, Yuliot mengatakan, pemerintah juga fokus memperbaiki sisi legal basis reform maupun implementasi yang lebih baik lagi untuk 10 indikator lainnya dalam EoDB.
Sementara itu, Ketua Umum Badan Pengurus Pusat Himpunan Pengusaha Muda Indonesia (HIPMI) Mardani H Maming menyebutkan, Vietnam menjadi pesaing berat bagi Indonesia dari sisi investasi. Persaingan ini juga yang akan menjadi tugas utama Badan Koordinasi Penanaman Modal (BKPM) di bawah pimpinan kepala baru, Bahlil Lahadalia.
Salah satu penyebab rendahnya tingkat realisasi investasi Indonesia adalah perekonomian dan biaya investasi. Faktor ini telah diperbaiki Vietnam, sehingga mampu melampaui posisi Indonesia. "Iklim investasi di sana sudah sophisticated," tuturnya dalam rilis yang diterima Republika.
Maming menyebutkan, dua faktor tersebut juga menjadi salah satu penghambat utama mencapai pertumbuhan ekonomi secara optimal. Hal ini ditunjukkan dengan tingginya incremental capital-output ratio atau ICOR Indonesia dibandingkan negara-negara lain.
"ICOR Indonesia 6,6. Vietnam dan negara Asia Tenggara lainnya memiliki ICOR di kisaran 3-4," ucap Maming.
Studi terbaru Doing Business 2020 yang diluncurkan Bank Dunia memperlihatkan, tingkat kemudahan berbisnis (Ease of Doing Business/ EoDB) Indonesia berada di peringkat ke-73 dari 190 negara. Posisi Indonesia masih sama seperti tahun lalu. Peringkat tersebut masih jauh dari target yang ditetapkan Presiden Joko Widodo, yaitu ke-40.
Meski peringkat masih sama, nilai atau score Indonesia mengalami kenaikan dari 67,96 menjadi 69,6. Laporan ini memberikan catatan khusus kepada regulasi ketenagakerjaan Indonesia. "Di antara ekonomi berpenghasilan menengah ke bawah di Asia Timur dan Pasifik, Indonesia merupakan salah satu negara dengan peraturan ketenagakerjaan yang kaku, terutama mengenai perekrutan," tulis laporan tersebut.