EKBIS.CO, JAKARTA -- Berinvestasi di reksa dana membutuhkan perhitungan yang matang. Hal tersebut lantaran setiap jenis reksa dana memiliki karakter yang berbeda-beda, sebagai contoh reksa dana saham.
Menurut Direktur Tanamduit, Muhammad Hanif, reksa dana saham kurang tepat dipilih untuk investasi jangka pendek. Pasalnya, tingkat volatilitas di pasar saham sangat tinggi sehingga cukup berisiko untuk investasi jangka pendek.
"Jangan pernah investasi di reksa dana saham kalau tidak sanggup lihat naik turunnya," ujar Hanif, Senin (28/10).
Di sisi lain, sambung Hanif, reksa dana saham memberikan return atau imbal hasil yang sangat tinggi. Sehingga untuk jangka panjang, instrumen ini akan sangat menguntungkan bagi investor.
Hanif menjelaskan, dalam 10 tahun terakhir indeks saham mengalami pertumbuhan yang cukup signifikan. Pada akhir 2008 indeks hanya menyentuh level 1300, sedangkan saat ini indeks saham sudah berada di level 6.200.
Artinya, indeks saham mengalami pertumbuhan hingga empat kali lipat atau 400 persen. Secara tahunan, pertumbuhan indeks bisa mencapai 25 persen. "Jadi kalau kita mau investasi di reksadana saham itu harus jangka panjang," tutur Hanif.
Sementara itu kepala ekonom Tanamduit, Ferry Latuhihin, mengatakan investor bisa memilih reksa dana obligasi. Ferry melihat, ekonomi secara global akan mengalami penurunan. Kondisi ini membuat sejumlah bank sentral berpotensi menurunkan suku bunga termasuk Bank Indonesia (BI).
"Kalau suku bunga turun harga obligasi akan naik. Artinya, jangan khawatir akan rugi kalau mau main di obligasi dalam jangka 1 tahun kedepan," kata Ferry.
Menurut Ferry, BI masih memiliki banyak ruang untuk menurunkan tingkat suku bunga ke level 4 persen. Sehingga, yield obligasi pun bisa menyentuh 8-10 persen.
Kendati demikian, investor tetap bisa menanamkan modalnya baik ke reksa dana saham maupun reksa dana obligasi. Ferry menyarankan, untuk jangka pendek, investor bisa berinvestasi di reksa dana obligasi dengan porsi 75 persen dan reksa dana saham 25 persen.
"Sebaliknya, kalau 5-10 tahun ke depan, 75 persen di saham, 25 persen di obligasi," tutup Ferry.