EKBIS.CO, JAKARTA -- Ekonom Universitas Indonesia (UI) Fithra Faisal menilai, penurunan Tingkat Pengangguran Terbuka (TPT) pada tahun ini menunjukkan pertumbuhan ekonomi Indonesia yang semakin berkualitas. Sebab, persentase perbandingan pengangguran dengan pekerja terus mengalami penurunan dari waktu ke waktu hingga berada di tingkat 5,28 hingga Agustus 2019.
Fithra menyebutkan, secara absolut, jumlah pengangguran pada tahun ini memang mengalami kenaikan 50 ribu dibandingkan tahun lalu. Tapi, tren itu lebih disebabkan angkatan kerja yang tumbuh hingga 2,55 juta orang selama setahun terakhir, sehingga tidak dapat dilihat sebagai sesuatu yang mencemaskan.
"Dalam konteks ini, kita melihat bahwa pertumbuhan ekonomi kita semakin berkualitas. Pertumbuhannya tidak terlalu tinggi, tapi pengangguran bisa turun," katanya saat dihubungi Republika, Selasa (5/11).
Badan Pusat Statistik (BPS) mencatat, jumlah pengangguran pada Agustus 2019 mencapai 7,05 juta orang. Jumlah tersebut lebih tinggi dibandingkan Agustus 2018, yakni 7,0 juta orang. Tapi, jika dilihat secara persentase, nilainya menurun dari 5,34 persen pada Agustus 2018 menjadi 5,28 persen pada Agustus 2019.
Melihat tren tersebut, Fithra menjelaskan, struktur ekonomi Indonesia sebenarnya tidak mengalami masalah dari sisi demand (permintaan). Selain pengangguran, tingkat kemiskinan pun terus mencatat penurunan hingga mencapai single digit. Permasalahan sebenarnya justru berada pada sisi supply (ketersediaan), yakni industri.
Tapi, apabila dirinci lebih dalam, masih ada beberapa poin yang harus diperhatikan pemerintah mengenai pengangguran. Salah satunya, dominasi penduduk umur muda (15-24 tahun) dalam kategori TPT, yakni hingga 18,62 persen.
Sementara itu, TPT penduduk usia 25-59 tahun hanya 3,01 persen, sementara penduduk lansia paling kecil di antara semua kelompok umur, yakni 0,66 persen.
Fithra menjelaskan, kondisi tersebut menggambarkan bahwa penciptaan lapangan kerja tidak terlalu terbuka untuk angkatan kerja usia muda. Padahal, Indonesia kini sedang mengalami bonus demografi, di mana jumlah penduduk usia 15 sampai 24 tahun menjadi ‘pelumas’ ekonomi Indonesia. "Ini yang patut diwaspadai," katanya.
Banyak faktor penyebab yang mendasari dominasi penduduk umur muda pada TPT. Di antaranya, kebijakan industri yang kini beralih pada konsep mekanisasi dan otomatisasi karena kualitas sumber daya manusia (SDM) pada kategori umur tersebut yang masih belum compatible dengan kebutuhan industri.
Dalam beberapa diskusi, Fithra menjelaskan, pergeseran industri ke mekanisasi dan otomatisasi bukan tanpa sebab. Mereka sebenarnya tidak ingin mengganti semua tenaga manusia dengan mesin.
Permasalahannya, kurikulum yang diajarkan di institusi pendidikan seperti Sekolah Menengah Kejuruan (SMK) ataupun universitas masih tidak matching dengan kebutuhan mereka. "Untuk efisiensi cost, mereka jadi harus melakukan (mekanisasi dan otomatisasi)," katanya.
Permasalahan tersebut yang membuat TPT di tingkat lulusan SMK terus mendominasi, yaitu hingga 10,42 persen pada Agustus 2019. Sementara itu, lulusan universitas menjadi kontributor terbesar keempat dengan sumbangan 5,67 persen terhadap TPT.
Untuk mengatasi permasalahan tersebut, Fithra menuturkan, pemerintah perlu terus menggencarkan program link and match sebagai bentuk perbaikan dari sisi hulu. Program ini mengarahkan agar kurikulum yang diajarkan di institusi pendidikan dapat sesuai dengan kebutuhan industri saat ini. Hanya saja, upaya perbaikan tersebut memang baru dapat berdampak dalam jangka menengah.
Fithra menilai, perbaikan hulu ini mendapatkan titik terang seiring dengan penunjukkan Nadiem Makarim sebagai menteri pendidikan dan kebudayaan dalam kabinet Indonesia Maju. "Keberadaan Nadiem yang diberikan tugas membenahi dari sisi hulu atau pembenahan kurikulum ini yang saya rasa patut ditunggu gebrakannya," katanya.