EKBIS.CO, JAKARTA -- Menteri Koordinator Bidang Perekonomian Airlangga Hartarto menjelaskan, finalisasi peninjauan kembali mengenai fasilitas generalized system of preference (GSP) dari Amerika Serikat (AS) ke Indonesia masih terus berlangsung. GSP merupakan kebijakan AS untuk meringankan bea masuk barang-barang dari sejumlah negara berkembang.
Dalam waktu dekat, pemerintah Indonesia segera mengirimkan delegasi ke AS untuk melakukan negosiasi dengan United States of Representative (USTR). Tapi, Airlangga tidak menjelaskan waktu detail pengiriman delegasi tersebut.
"Kami akan segera kirim tim di bawah Kementerian Perdagangan," ujarnya kepada media usai bertemu dengan Menteri Perdagangan AS Wilbur Ross di Gedung Kemenko Perekonomian, Jakarta, Rabu (6/11).
Sementara itu, Ross mengatakan, pertemuan antara delegasi AS dengan Indonesia membahas GSP berjalan dengan konstruktif. Saat ini, UTR bersama dengan perwakilan dagang Indonesia terus melakukan pembahasan secara intensif dan baik.
Ross optimistis, isu ini dapat segera diselesaikan dengan cepat sehingga bisa diumumkan hasilnya secepat mungkin.
Diketahui, AS selalu meninjau skema GSP setiap tiga tahun sekali untuk menentukan produk-produk yang masih layak menerima GSP. Terakhir, pada 2018, Presiden AS Donald Trump mengevaluasi sekitar 124 produk ekspor asal Indonesia. Di antaranya tekstil, kapas, plywood dan beberapa hasil perikanan.
Ross menyebutkan Indonesia sebagai salah satu negara mitra dagang maupun investasi yang sangat menjanjikan bagi AS. Oleh karena itu, ia berharap penguatan kerja sama antara AS dengan Indonesia yang telah menjalin hubungan dagang selama 70 tahun. Termasuk, investasi dunia usaha Indonesia ke AS dalam berbagai sektor.
Ke depannya, Ross memastikan, akan semakin banyak dunia usaha dari AS yang investasi ke Indonesia. "Kita juga akan melihat lebih banyak perdagangan bilateral dari yang sekarang," ucapnya.
Direktur Jenderal Perundingan Perdagangan Internasional Kementerian Perdagangan Iman Pambagyo menuturkan, pembahasan mengenai GSP akan dikoordinasikan melalui Kemenko Bidang Perekonomian. Sebab, isunya tidak hanya terbatas pada isu perdagangan, melainkan lebih makro. Di antaranya, menyangkut aturan Otoritas Jasa Keuangan (OJK) mengenai reinsurance, pembatasan foreign equity dan investasi.
Mengutip pernyataan Ross, Iman menjelaskan, pihak AS dan Indonesia berkomitmen untuk menyelesaikan permasalahan fasilitas GSP dalam waktu satu tahun. Ia memprediksi, setidaknya dibutuhkan waktu tiga tahun untuk rampung.
"Kalau bisa within the years, very nice. Tinggal sedikit kok dari beberapa daftar yang mereka sampaikan ke kita," katanya.
Apabila Indonesia resmi dapat melanjutkan fasilitas GSP, Iman berharap, para pengusaha dapat memanfaatkannya secara maksimal. Sebab, selama ini, pelaku usaha baru memanfaatkan tarif preferensi GSP terhadap sekitar 836 produk dari total 3.572 produk.
Penyebaran informasi yang kurang maksimal disebut Iman sebagai faktor utama minimnya pemanfaatan GSP. Oleh karena itu, pemerintah akan mengembangkan pusat informasi GSP di berbagai daerah untuk menyebarkan pemahaman skema GSP kepada pengusaha. "Kita beri pemahaman kepada eksportir, terutama yang baru-baru," ujarnya.
Secara keseluruhan, pemerintah AS memberikan fasilitas GSP kepada 121 negara dengan total 5.062 pos tarif 8 digit. Dari jumlah tersebut, 3.572 pos tarif Indonesia mendapatkan fasilitas GSP. Selain mendorong ekspor negara berkembang ke AS, program ini bertujuan membantu produsen AS mendapatkan produk yang dibutuhkan untuk kegiatan produksi.