EKBIS.CO, JAKARTA -- Pengamat ekonomi syariah dari Sekolah Tinggi Ekonomi Islam SEBI, Azis Budi Setiawan, menilai, investor ritel kini masih dalam kondisi wait and see. Kondisi ini menjadi salah satu penyebab penurunan nilai pembelian Sukuk Tabungan (ST) seri ST006 dibandingkan seri sebelumnya, ST005.
Di sisi lain, imbal hasil yang ditawarkan juga mengalami penurunan. Azis mengatakan, para investor ritel harus menahan pengeluarannya dalam berinvestasi untuk mempersiapkan kenaikan beberapa komponen kebutuhan pada tahun depan.
Tahun depan pemerintah akan menaikan iuran BPJS Kesehatan hingga 100 persen, cukai rokok dan mencabut subsidi listrik 900 VA. "Jadi, mereka bersiap menyisihkan pendapatan dan simpanan untuk pengeluaran itu," tuturnya ketika dihubungi Republika, Selasa (26/11).
Tidak hanya itu, Azis menambahkan, para investor ritel juga harus menyisihkan pengeluaran untuk menghadapi liburan akhir tahun yang bertepatan dengan liburan sekolah maupun kuliah. Momen ini yang membuat mereka lebih berhati-hati dalam mengeluarkan uang, tidak terkecuali untuk berinvestasi di surat berharga negara (SBN) ritel milik pemerintah.
Di sisi lain, isu besar mengenai perlambatan pertumbuhan ekonomi semakin membuat investor harus berpikir ulang untuk berinvestasi. Khususnya untuk investor yang bergerak di dunia usaha pada sektor-sektor yang menghadapi tekanan seperti pertambangan dan manufaktur.
Azis mengatakan, kondisi tersebut semakin diperdalam dengan imbal hasil ST006 yang memang lebih rendah dibandingkan ST005 maupun SBN ritel keseluruhan. ST006 menawarkan imbal hasil 6,75 persen, sedangkan ST005 mencapai 7,4 persen.
"Ini yang menyebabkan mereka lebih baik menahan diri untuk berinvestasi," ucapnya.
Berkaca dari kondisi ini, Azis mengatakan, Kementerian Keuangan (Kemenkeu) harus melakukan evaluasi mendalam mengenai tren penjualan ST yang menurun. Evaluasi ini dapat menjadi dasar pengambilan keputusan kebijakan penawaran SBN ritel tahun depan, termasuk ST.
Azis menjelaskan, treatment dari masing-masing faktor penentu akan berbeda. Apabila penurunan daya beli menjadi faktor penyebab utama, pemerintah harus mempertimbangkan intensitas yang terlalu sering dalam penerbitan ST.
Terlebih, pihak perbankan sudah kerap menyampaikan potensi pengetatan likuiditas dana masyarakat seiring dengan penerbitan SBN ritel yang intensif.
Di sisi lain, jika penurunan imbal hasil menjadi faktor utama, pemerintah harus memberikan ‘pemanis’ lebih saat hendak menerbitkan ST tahun depan. "Pemanis di sini ya imbal hasil yang meningkat, sehingga akan lebih menguntungkan bagi para investor ritel," ujar Azis.
Kementerian Keuangan melalui Direktorat Jenderal Pengelolaan Pembiayaan dan Risiko (DJPPR) mencatat, volume pemesanan pembelian Green Sukuk Ritel seri ST006 mencapai Rp 1,45 triliun. Angka ini lebih rendah dibandingkan penjualan seri sebelumnya, ST005, sebesar Rp 1,96 triliun.
Sementara itu Direktur Pembiayaan Syariah DJPPR Kemenkeu Dwi Irianti menuturkan, pemerintah kini sedang menentukan rencana penerbitan ST pada tahun depan, bersama dengan Surat Berharga Negara (SBN) ritel lain. "Masih dievaluasi, apakah sama kuantitasnya dengan tahun ini," ucapnya.
Meski menurun, Dwi mengatakan, hasil penawaran ST006 melampaui ekspektasi awal. Nilainya masih melebihi target indikatif yang ditetapkan Kemenkeu bersama para mitra distribusi (midis), yakni Rp 1,3 triliun.
Dwi menjelaskan, realisasi yang di atas ekspektasi itu disebabkan konsep green sukuk ritel pada ST006. Berbeda dari penerbitan ST seri sebelumnya, ST006 ini diterbitkan dengan format Green, seluruh hasil penerbitan untuk pembiayaan proyek-proyek yang ramah lingkungan baik refinancing maupun new financing.
ST006 merupakan penerbitan Green Sukuk Ritel pertama sekaligus menunjukkan komitmen dan kontribusi Pemerintah dalam mengembangkan pasar keuangan syariah sekaligus mengatasi perubahan iklim.