EKBIS.CO, JAKARTA -- Kementerian Keuangan (Kemenkeu) mencatat, setiap rupiah yang disuntik pemerintah kepada BUMN melalui Penyertaan Modal Negara (PMN) periode 2015-2018 telah menghasilkan proyek dengan nilai hampir tiga kali lipat lebih banyak.
Menteri Keuangan Sri Mulyani mengatakan, pada periode 2015-2018, pemerintah melalui Kemenkeu menyuntikkan modal kepada BUMN senilai Rp 130 triliun. Dari total itu, BUMN dapat mendanai total proyek senilai Rp 356 triliun.
"Artinya, BUMN sudah mampu me-leverage sebanyak 2,72 kali atau hampir tiga kali," ujarnya dalam rapat kerja bersama Komisi XI DPR di Gedung DPR, Jakarta, Senin (2/12).
Leverage merupakan penggunaan dana pinjaman untuk meningkatkan potensi imbal hasil (return) dari sebuah investasi. Tingkat leverage 2,72 kali tersebut sekaligus menggambarkan value for money atau efektivitas penambahan PMN yang diberikan Kemenkeu kepada BUMN.
Sri menambahkan, leverage tersebut telah terbukti memberikan manfaat sosial dan ekonomi. Di antaranya, proyek PT Hutama Karya dalam membangun Jalan Trans Tol Sumatera (JTTS).
Berdasarkan sampling dari tiga provinsi, proyek ini layak secara ekonomi karena Economic Internal Rate of Return (EIRR) yang dihasilkan dari proyek lebih tinggi dibandingkan cost of fund (biaya dana) PMN.
Tercatat, cost of fund PMN pada proyek ini adalah 8,03 persen. Sedangkan, IERR di Sumatera Utara, Sumatera Selatan dan Lampung dari proyek ini adalah masing-masing 44,7 persen, 68,8 persen dan 139 persen.
"Ini berarti dampak ekonomis dari proyek tersebut jauh lebih besar dari cost of fund," ujar Sri.
Di sisi lain, Sri menambahkan, pemberian PMN juga berdampak pada penerimaan negara. Tercatat, pada periode yang sama, penerimaan pajak dari BUMN penerima PMN mencapai Rp 52,8 triliun. Sementara itu, dividen yang dibayarkan adalah Rp 19,79 triliun.
Meski sudah menghasilkan dampak sosial dan ekonomi, pemberian PMN masih belum menuntaskan permasalahan keuangan beberapa BUMN. Tercatat, pada 2018, masih terdapat tujuh BUMN yang mengalami kerugian.
Penyebab kerugian tersebut beragam. Mulai dari beratnya beban keuangan selama konstruksi seperti yang dialami PT Krakatau Steel hingga pembatalan kontrak dan order tidak mencapai target seperti di PT Dirgantara Indonesia.
Dengan kondisi ini, Sri mengatakan, pihaknya bersama Kementerian BUMN akan duduk bersama untuk mencari titik keseimbangan. Yaitu antara menjalankan misi pembangunan BUMN dengan menjaga kesehatan dari neraca dan laporan keuangannya.
"Karena mereka sebagai entitas tentu selalu tetap harus terjaga sustainable agar misi pembangunan tetap berjalan terus," ucapnya.
Direktur Jenderal Kekayaan Negara Kemenkeu Isa Rachmatarwata menilai, memang ada beberapa BUMN yang mengalami over leverage. Misal, mereka terlalu banyak menerbitkan surat utang yang kemudian sulit untuk dibayar kembali.
Isa menjelaskan, konsep tersebut yang perlu diwaspadai oleh BUMN. Pemerintah melalui Kemenkeu mungkin akan mengajukan beberapa opsi untuk menyehatkan kembali, tapi tidak untuk semua BUMN.
"Kita mungkin akan berikan tambahan modal dan sebagainya yang akan menyehatkan dia lagi," ujarnya.
Sementara itu, Anggota Komisi XI DPR Mukhamad Misbakhun menekankan, kelayakan studi pemberian PMN harus dilakukan secara komprehensif dan detail. Di sisi lain, kehadiran PMN di negara harus dirasakan oleh masyarakat. Baik itu melalui intervensi langsung ke pasar atau metode lain.
Misbakhun memberikan contoh, upaya mengatasi defisit transaksi berjalan atau current account deficit (CAD) yang sudah menjadi permasalahan Indonesia selama beberapa tahun terakhir.
Pemerintah baru menganggarkan Rp 1 triliun melalui PMN untuk meningkatkan ekspor dengan tujuan akhir memperbaiki CAD. "Seberapa serius negara mengatasi CAD dengan anggaran Rp 1 triliun? Ini harus dikaji terlebih dahulu," ucap Misbakhun.