EKBIS.CO, KUPANG -- Kepala Dinas Peternakan Nusa Tenggara Timur (NTT) Danny Suhadi memastikan peternakan babi di wilayahnya terbebas dari virus African Swine Fever (ASF). Ini karena upaya pencegahan penyebaran virus itu dari Timor Leste terus dilakukan.
"Belum ada yang masuk ke NTT," kata Danny di sela acara Bimbingan Teknis Penanggulangan Penyakit Hewan Eksotik ASF di Kupang, NTT, Kamis (5/12).
Menurut Danny, pihaknya banyak melalukan upaya pencegahan agar virus dari Timor Leste yang peternakan babinya sudah dinyatakan positif terkena virus ASF, tidak masuk. Upaya itu antara lain dengan melakukan kerja sama dengan lembaga terkait seperti Bea dan Cukai, Karantina, Imigrasi, dan petugas keamanan di pintu-pintu perbatasan.
Danny belum mendapat informasi sampai kapan virus ASF di Timor Leste itu akan hilang. Namun, pihaknya akan terus menerus memonitor dan terus melakukan upaya pencegahan.
"Apalagi, ini menjelang Natal dan Tahun Baru, pasti akan kita perketat supaya tidak ada daging babi yang masuk dari Timor Leste ke NTT," kata Danny.
Menurut Danny, masuknya daging dari Timor Leste itu bukan karena mereka memasok daging babi ke NTT. Tetapi, lebih karena adanya suasana kekerabatan di mana banyak warga di perbatasan yang saling mengunjungi saat natal dan tahun baru. Dan, ini memungkinkan terjadinya orang dari Timor Leste membawa oleh-oleh atau bingkisan daging-daging babi kering untuk sanak saudaranya di NTT.
Sementara, untuk antisipasi terhadap penyebaran virus ASF, Direktorat Jenderal Peternakan dan Kesehatan Hewan (PKH) melaksanakan bimbingan teknis (bimtek) kepada 50 orang petugas lapang yang berasal dinas yang membidangi fungsi peternakan dan kesehatan hewan Provinsi NTT dan kabupaten/kota yang ada di Pulau Timor. Kegiatan ini berlangsung selama tiga hari dari tanggal 4 Desember 2019 di Hotel On the Rock Kupang.
Menurut Dirjen PKH, I Ketut Diarmita, penyebaran penyakit ASF ini sangat cepat dan telah mendekati perbatasan wilayah Negara Republik Indonesia di NTT, sehingga potensi ancaman masuknya penyakit ini semakin besar. "Kondisi ini memerlukan kewaspadaan dini dan harus segera diwujudkan dalam bentuk tindakan teknis" ungkap Ketut.
Oleh karenanya, sesuai amanat Undang-Undang No.18 Tahun 2009 dan Peraturan Pemerintah No. 47 Tahun 2014, tindakan teknis yang harus dilakukan adalah deteksi cepat, pelaporan cepat dan pengamanan cepat. "Sangat penting untuk diidentifikasi potensi lokasi timbulnya penyakit dan sebaran populasi babi" ungkap Ketut.
Untuk berhasilnya deteksi, pelaporan dan penanganan cepat, lanjut Ketut, diperlukan adanya pemahaman peternak terkait gejala klinis penyakit ASF. Setiap ada perubahan pada babi yang dipelihara, seperti penurunan nafsu makan dan peningkatan kasus kematian, peternak diharapkan segera melaporkan kejadiannya kepada petugas lapang dinas.
"Pemahaman petugas terkait ASFmenjadi kunci utama penanganan yang cepat dan efektif, sehingga kasus dapat ditangani dan meminimalisir kerugian" tambahnya.
Ketut juga menjelaskan bahwa ASF ini merupakan penyakit yang belum ditemukan vaksin dan obatnya yang efektif, untuk itu tindakan teknis dalam pencegahan, pengendalian dan pemberantasan difokuskan pada surveilans, biosekuriti dan dilanjutkan dengan tindakan depopulasi, disposal dan dekontaminasi.
Melalui bimtek ini, harapnya, menjadi cara yang efektif untuk meningkatkan kapasitas dan pengetahuan petugas tentang penyakit ASF, serta memberikan kesempatan petugas untuk dapat melakukan praktek langsung di lapangan. “Kompetensi-kompetensi yang dimiliki petugas tersebut sangat penting untuk mengantisipasi ancaman masuk, terjadinya, dan potensi menyebarnya penyakit” kata Ketut.