EKBIS.CO, BADUNG -- Ekonom Center of Reform on Economics (Core) Indonesia Yusuf Rendy Manilet menilai, keberadaan Peraturan Menteri Keuangan (PMK) 181/2019 tentang Tata Cara Pelaksanaan Perjalanan Dinas Luar Negeri menggambarkan pengetatan arah kebijakan fiskal pemerintah pada tahun depan. Dalam hal ini melalui penghematan belanja, terutama belanja yang kurang produktif.
Tapi, Yusuf menuturkan, kebijakan ini mungkin tidak akan berpengaruh signifikan dalam menekan belanja pemerintah pusat. Berkaca dari realisasi anggaran 2018, total biaya perjalanan dinas dalam negeri ataupun luar negeri hanya berkontribusi 2,8 persen.
"Sekitar Rp 42 triliun dari total belanja pemerintah pusat yang mencapai Rp 1.454 triliun," katanya ketika dihubungi Republika.co.id, Rabu (11/12).
Sebelumnya, Menteri Keuangan (Menkeu) Sri Mulyani resmi meneken PMK 181/2019 pada Kamis (5/12). Beleid ini merupakan perubahan kedua atas PMK 164/2015 tentang Tata Cara Pelaksanaan Perjalanan Dinas Luar Negeri yang disahkan saat Bambang Brodjonegoro masih menjabat sebagai Menkeu.
Dikutip dari abstrak peraturan yang dirilis di situs JDIH Kemenkeu, regulasi ini untuk mewujudkan pelaksanaan perjalanan dinas luar negeri secara lebih efisien dan efektif dengan tetap memperhatikan prinsip good governance.
Yusuf mengatakan, masih banyak kebijakan lain yang dapat dilakukan pemerintah untuk meningkatkan efisiensi belanja pemerintah pusat, terutama belanja pegawai. Salah satunya, meninjau ulang manajemen ASN. "Khususnya bagian perekrutan dan belanja tunjangan khusus," ujarnya.
Selain itu, Yusuf menambahkan, pemerintah juga dapat mengevaluasi belanja tunggu. Yaitu penghasilan yang diberikan kepada ASN yang diberhentikan dengan hormat dari jabatan. Porsi belanja ini lumayan besar dalam proporsi belanja pegawai setelah belanja gaji ASN.
Direktur Jenderal Perbendaharaan Kemenkeu Andin Hadiyanto mengatakan, setidaknya ada dua latar belakang yang membuat Kemenkeu menetapkan PMK 181/2019. Pertama, meningkatkan efisiensi belanja perjalanan dinas, khususnya biaya transport pesawat.
"Kemudian, simplifikasi pertanggungjawaban biaya perjalanan dinas," ucapnya ketika dihubungi Republika.co.id, Rabu (11/12).
Tujuan pertama diimplementasikan dalam lampiran PMK 181/2019. Di situ tertulis bahwa ASN golongan tiga dan empat menggunakan kelas ekonomi untuk moda transportasi pesawat udara, tanpa ketentuan tambahan.
Ketentuan itu berbeda dengan regulasi terdahulu, PMK 164/2015 tentang Tata Cara Pelaksanaan Perjalanan Dinas Luar Negeri. Di dalamnya, tertulis bahwa golongan tiga dan empat masih berkesempatan menggunakan kelas bisnis untuk perjalanan melebihi delapan jam penerbangan (tidak termasuk transit).
Sementara itu, tujuan kedua yang disebutkan Andin adalah terkait dengan pasal 30. Tepatnya mengenai bukti perjalanan dinas yang harus didapatkan dari negara tujuan. Dari semula harus meminta stempel di tempat tujuan, kini kewajiban tersebut ditiadakan.
Andin menekankan, ketentuan ini dilakukan mengingat adanya perjalanan dinas luar negeri ke negara tujuan yang bukan ibu kota dan tidak memiliki kedutaan. ASN akan kesulitan mendapatkan stempel.
Oleh karena itu, kini ASN hanya membutuhkan cap imigrasi, boarding pass dan surat tugas untuk pertanggung jawaban. "Pada intinya, ini akan semakin memudahkan dalam membuat laporan pertanggungjawaban," kata Andin.
Di sisi lain, ASN harus membuat satu lampiran tambahan sebagai bagian dari pertanggungjawaban, yaitu surat pernyataan dari pelaksana SPD. Formatnya sudah dicantumkan dalam lampiran yang merupakan bagian tidak terpisahkan dari PMK 181/2019.