EKBIS.CO, TOKYO -- Aktivitas pabrik di Jepang memperpanjang masa perlambatannya pada November. Penyebabnya, output dan pesanan baru yang turun. Kondisi ini mendorong ekonomi Jepang ke dalam pertumbuhan kontraksi pada kuartal keempat.
Dilansir Reuters, Senin (16/12), Indeks Pembelian Manajer Manufaktur (PMI) versi Bank Jibun Flash pada Desember mengalami kenaikan tipis dari 48,8 pada Oktober menjadi 48,9 pada November. Indeks tetap berada di bawah ambang batas 50 yang menjadi penanda kontraksi dan ekspansi. Indeks di bawah itu menunjukkan kontraksi, sedangkan sebaliknya menggambarkan ekspansi.
Perlambatan aktivitas pabrik yang kontraksi ini sudah memasuki bulan kedelapan. Apabila pada Desember (data yang dirilis Januari) masih menunjukkan kontraksi, maka ini akan menjadi rekor kontraksi terpanjang di Jepang, yakni sembilan bulan. Rekor terpanjang sebelumnya terjadi pada Februari 2013.
Poin output dan indikator pesanan baru tetap mengalami kontraksi sepanjang tahun. Ini menunjukkan ketegangan berkepanjangan dalam aktivitas pabrik. Penurunan ekspor baru menyusut selama 13 bulan dan diperkirakan terus berlangsung sampai akhir tahun.
Penurunan manufaktur ini membuat para pemangku kepentingan ‘sakit kepala’. Sebab, mereka kini hanya mengandalkan permintaan yang kuat di dalam negeri untuk menopang pertumbuhan yang melambat. Sementara itu, belanja konsumen mengalami hambatan berat dengan kenaikan pajak penjualan pada Oktober.
Data terpisah menunjukkan, aktivitas sektor jasa Jepang membaik. Indeks PMI Jasa dari Bank Jipun Flash menunjukkan, besarannya adalah 50,6, membaik dibandingkan bulan Oktober yaitu 50,3. Tapi, perbaikan ini terlalu kecil untuk menebus kemerosotan dalam aktivitas manufaktur.
Ekonom IHS Markit, Joe Hayes, mengatakan, yang paling membingungkan dari data survei kuartal keempat adalah hilangnya momentum nyata pada sektor jasa. "Sekarang jelas bahwa sektor jasa tidak dapat mengimbangi kelemahan industri. Ini tidak menjadi pertanda baik bagi prospek pertumbuhan pada 2020," tuturnya.
Para pembuat kebijakan telah mengambil langkah-langkah untuk mengatasi risiko prospek yang meningkat dengan paket fiskal 122 miliar dolar AS. Paket ini diharapkan mampu mendorong pertumbuhan ekonomi terbesar ketiga di dunia tersebut.