EKBIS.CO, JAKARTA -- Badan Pusat Statistik (BPS) mencatat, kondisi defisit neraca perdagangan Indonesia pada November terus mendalam. Pada periode Januari sampai November 2019, nilai defisit adalah 3,11 miliar dolar AS. Sedangkan, pada Januari hingga Oktober 2019 baru mencapai 1,78 miliar dolar AS.
Kondisi itu terjadi di tengah kenaikan harga minyak mentah Indonesia (Indonesia Crude Price/ICP). Kepala BPS Suhariyanto mencatat, ICP Indonesia pada November adalah 63,26 dolar AS per barel, sedangkan Oktober masih di kisaran 59,82 dolar AS per barel.
"Peningkatan ini akan berpengaruh pada total nilai ekspor dan impor, terutama migas," tuturnya dalam konferensi pers di kantornya, Jakarta, Senin (16/12).
Suhariyanto menambahkan, ada juga beberapa komoditas non migas yang mengalami fluktuasi harga. Misalnya saja crude palm oil (CPO) dan karet yang naik masing-masing 15,6 persen dan 7,6 persen. Di sisi lain, batu bara mengalami penurunan 2,8 persen dibandingkan Oktober 2019.
Fluktuasi harga komoditas ini akan berpengaruh lebih besar terhadap ekspor. Sebab, Suhariyanto mengatakan, kontribusi bahan bakar mineral terhadap ekspor Indonesia selama Januari sampai November 2019 mencapai 14 persen.
Sedangkan, kontribusi migas terhadap kinerja impor hanya 12,64 persen, jauh lebih kecil dibandingkan nonmigas yang hingga 87,36 persen dalam 11 bulan terakhir.
Nilai ekspor migas pada November 2019 tercatat mencapai 1,1 miliar dolar AS atau naik 20,66 persen dibandingkan Oktober 2019, 916 juta dolar AS. Rata-rata harga agregatnya mengalami kenaikan 9,84 persen, dari 411 dolar AS per ton menjadi 451,4 dolar AS per tahun. Sementara itu, volumenya juga naik 9,85 persen dari 2,2 juta ton menjadi 2,4 juta ton.
Tapi, secara umum, kinerja ekspor pada November masih mengalami kontraksi hingga 5,67 persen (month-to-month). Penyebabnya, terjadi penurunan ekspor non migas 7,29 persen. "Dari 14,01 miliar dolar AS menjadi 12,9 miliar dolar AS," kata Suhariyanto.
Senada dengan ekspor, nilai impor migas juga naik 21,6 persen. Nilainya pada November 2019 adalah 2,1 miliar dolar AS, sementara Oktober 2019 hanya 1,75 miliar dolar AS. Kenaikan ini lebih disebabkan pertumbuhan volume impor migas 22,36 persen, dari 3,3 juta ton pada Oktober menjadi 4,0 juta ton pada November. Padahal, rata-rata harga agregat impor migas sendiri turun 0,62 persen (m-to-m).
Ekonom Center of Reform on Economics (CORE) Yusuf Rendy Manilet menuturkan, Indonesia harus berhati-hati dengan fluktuasi harga sejumlah komoditas. Sebab, harga komoditas sangat volatile dan dapat berubah sewaktu-waktu.
"Kalau kita terus bergantung ke ekspor komoditas, ini akan mempengaruhi keberlanjutan kinerja ekspor itu sendiri," tuturnya ketika dihubungi Republika.co.id, Senin (16/12).
Di sisi lain, Yusuf menambahkan, produk komoditas mempunyai nilai ekspor lebih rendah dibandingkan produk yang diolah sebelumnya, Apabila Indonesia terus mengandalkan ekspor produk komoditas dan masih bergantung pada impor bahan baku, defisit perdagangan akan terus menghantui neraca perdagangan.
Lebih dari itu, Yusuf menekankan, kondisi ini bermuara pada neraca transaksi berjalan. "Sebab, surplus di neraca dagang seringkali menjadi penolong agar defisit di neraca transaksi berjalan tidak terlalu besar," ujarnya.
Yusuf mencatat, kenaikan harga komoditas seperti CPO lebih disebabkan karena kenaikan permintaan dari India, sementara di sisi produksi ada kekurangan sebagai dampak dari proses kemarau panjang. Untuk harga batubara sendiri mengalami kenaikan akibat peningkatan permintaan dari Cina untuk pemakaian batu bara menjelang musim dingin.
Apabila melihat tren tahun depan, Yusuf memproyeksikan, terdapat potensi kenaikan harga minyak. Prediksi ini ditopang oleh turunnya tensi perang dagang akibat selesainya perundingan perang dagang antara Amerika Serikat (AS) dengan Cina pada 15 Desember kemarin.
"Jika hal ini terjadi maka ini alamat buruk untuk neraca dagang khususnya impor karena Indonesia merupakan negara net-importir minyak," ucapnya.