EKBIS.CO, Oleh: Syafaruddin Alwi
Semangat melakukan spin off menguat kembali sejalan dengan langkah Otoritas Jasa Keuangan (OJK) menerbitkan Peraturan OJK (POJK) Nomor 28/POJK.03/ 2019 tentang Sinergi Perbankan dalam Satu Kepemilikan untuk Pengembangan Perbankan Syariah.
Salah satu alasan diterbitkannya POJK tersebut adalah untuk mempertahankan kinerja dan kualitas layanan unit usaha syariah (UUS) pasca kewajiban spin off menjadi Badan Usaha Syariah (BUS) pada tahun 2023 serta meningkatkan daya saing BUS dalam memberikan pelayanan kepada nasabah BUS agar setara dengan kualitas pelayanan bank umum.
Kebijakan tentang spin off unit usaha syariah telah lama bergaung dan banyak dibahas dalam di berbagai media oleh para pemerhati perbankan syariah. Semangat melakukan spin off UUS menjadi BUS tidak lepas dari konsep perluasan peran UUS agar lebih mampu secara mandiri menjangkau spektrum layanan nasabah yang lebih luas mengingat masih banyak masyarakat yang belum terakses layanan syariah. Dengan menjadi BUS, diharapkan perluasan jaringan layanan nasabah dengan kekuatan modal yang lebih besar pascamenjadi BUS lebih cepat dapat dilakukan.
Di sisi lain persoalan yang timbul dari langkah spin off yang ditargetkan terlaksana pada tahun 2023 memantik kekhawatiran kegagalan bank Induk melakukan spin off, mengingat berbagai persoalan yang melingkari langkah spin off seperti terbatasnya kemampuan penambahan modal bank induk, kesiapan sumber daya manusia, kesiapan investasi fisik, dan teknologi jaringan.
Pada awal lahirnya UUS, sudah pernah dipraktikkan bentuk layanan syariah di kantor bank Induk yang dikenal dengan office channeling. Office sharing atau co-location menyangkut pengertian yang lebih luas yaitu nasabah BUS dapat dilayani di jaringan kantor bank umum lewat kerja sama layanan syariah bank umum (LSBU).
Selama ini banyak reaksi dan persepsi negatif dari nasabah tentang keabsahan secara syariah adanya praktik layanan syariah satu atap (office channeling) dengan bank umum yang melahirkan UUS. Layanan UUS indikatornya terletak pada bentuk produk dan prinsip-prinsip syariah yang mendasarinya yang diatur oleh Fatwa MUI-DSN.
Sedangkan system layanan lebih terfokus pada penggunaan teknologi jaringan yang sangat mungkin bekerja sama dengan bank umum sebagai pemilik sistem teknologi jaringan. Kegiatan BUS yang dapat dilayani lewat jaringan kantor bank umum adalah kegiatan penghimpunan dana, pembiayaan dan jasa perbankan lainnya berdasarkan prinsip syariah.
Sinergi hubungan ini dimaksudkan untuk pengembangan BUS melalui upaya optimalisasi pemanfaat sumber daya manusia (SDM), teknologi informasi dan pemanfaatan jaringan kantor dalam bentuk office sharing, bersinergi dengan bank Umum melalui penggunaan sistem digital milik bank umum oleh BUS.
Bagi UUS, pascamenjadi BUS adalah lebih terbuka peluang untuk melakukan kolaborasi dengan perusahaan financial technology (fintech) dalam dalam meningkatkan kualitas sistem pelayanan nasabah. Kolaborasi dengan fintech merupakan keniscayaan di era disrupsi saat ini sejalan dengan semakin gencarnya perubahan sistem pelayanan perbankan menuju pelayanan serba digital.
Dalam konteks ini, POJK Nomor 28/2019 perlu diapresiasi karena menciptakan solusi operasional dalam pelayanan BUS yang lebih memberikan peluang BUS untuk melayani kepentingan nasabah secara luas dan efisien karena tidak memerlukan investasi khsusus dalam perangkat teknologi jaringan.
Hal yang menarik dari peraturan tersebut adalah berkenaan dengan diperbolehkannya pihak (SDM) bank umum merangkap jabatan di BUS sebagai pihak independen. Tetapi peluang perangkapan jabatan dalam konteks itu perlu batasan yang lebih jelas karena kompetensi SDM yang engaged pada bank syariah berbeda dengan kualifikasi kompetensi SDM bank umum.