EKBIS.CO, ABU DHABI -- Indonesia dan Uni Emirat Arab (UEA) ingin agar ketegangan politik di kawasan Timur Tengah yang sempat memanas setelah tewasnya petinggi militer Iran akibat serangan AS segera mereda. Banyak pihak yang mengkhawatirkan ketegangan politik ini.
“Dan kemarin kita juga melakukan tukar pikiran, saya bertemu dengan Menlu UEA dan kita membahas itu. Prinsipnya sama kita tidak ingin situasi menjadi lebih memburuk,” kata Menteri Luar Negeri Retno LP Marsudi di Emirates Palace Hotel Abu Dhabi, Ahad (12/1) malam.
Ia baru saja selesai mendampingi Presiden Jokowi dalam sejumlah agenda kenegaraan di Istana Qasr Al Watan bersama Putra Mahkota UEA Mohamed Bin Zayed (MBZ). Retno menambahkan bahwa semua pihak merasa khawatir dengan meningkatkan eskalasi politik di kawasan terutama UEA yang berdekatan dengan wilayah yang berkonflik.
“Saya kira semua orang khawatir ya karena mereka lebih dekat. Jangankan mereka, kita yang dari jauh pun khawatir. Karena saya sampaikan selain hitung-hitungan bahwa perang itu tidak akan menguntungkan siapapun, perang itu akan berpengaruh pasti terhadap ekonomi dunia yang sudah tanpa perang pun sudah tertekan terus ke bawah,” katanya.
Bahkan Putra Mahkota UEA Mohamed Bin Zayed dan Presiden Joko Widodo dalam pertemuan juga sempat menyinggung persoalan tersebut. Namun, pembicaraan terkait hal itu tidak terlalu mendalam mengingat pertemuan tersebut fokus pada bidang ekonomi.
“Disinggung, tapi enggak banyak. Karena sekali lagi, fokusnya adalah ekonomi,” katanya.
Menurut Retno, meningkatnya ketegangan politik hingga perang akan sangat merugikan, bagi Indonesia misalnya yang sangat langsung terdampak adalah nasib WNI. Untuk itu Menlu berharap agar situasi dapat dideeskalasi atau diredakan sehingga tidak berkembang menjadi lebih buruk, meski begitu pihaknya telah menyiapkan sejumlah kontigency plan termasuk membuka crisis center dan hot line yang bisa setiap saat dihubungi WNI.
“Karena di Iran kalau menurut data yang ada di kita jumlah WNI kita di sana itu lebih dari 400, sementara yang di Irak adalah 800. Dan kita tahu jumlah yang ada pasti lebih besar dari data yang kita terima,” katanya.