EKBIS.CO, JAKARTA -- Peneliti Center for Indonesian Policy Studies (CIPS) Felippa Ann Amanta menyatakan wacana importir bawang putih wajib mengekspor bawang merah tidak realistis. Hal ini juga bisa berpengaruh kepada harga dua komoditas tersebut.
"Saat ini Indonesia masih perlu mengimpor bawang putih karena tingkat konsumsi yang tinggi. Tingginya tingkat konsumsi belum mampu didukung oleh jumlah produksi dalam negeri," kata Felippa Ann Amarta dalam keterangan tertulis di Jakarta, Senin (3/2).
Berdasarkan data Badan Pusat Statistik (BPS), konsumsi bawang putih pada 2018 mencapai 503.644 ton. Sementara itu jumlah produksinya pada waktu yang sama hanya sebanyak 39.302 ton.
Berdasarkan studi Bappenas, sejak 1990 hingga 2016, konsumsi bawang putih di Indonesia terus meningkat sebanyak 11,24 persen per tahun. Bertambahnya tingkat konsumsi membuat Indonesia harus mengimpor sekitar 95 persen kebutuhan bawang putihnya.
"Peraturan wajib tanam yang mengharuskan importir menanam sebesar lima persen dari volume impor juga tidak realistis dengan keadaan," katanya.
Menurut dia, ada beberapa hal yang mempengaruhi, seperti ketidakmampuan importir untuk menanam dan sulitnya mencari kelompok petani yang bisa diajak bekerja sama. Selain itu, modal menanam bawang putih yang besar, faktor iklim serta susahnya mencari lahan tanam juga menjadi kendala importir.
Ia berpendapat bahwa penerapan peraturan ini kerap gagal meskipun importir sudah bekerja sama dengan petani bawang putih, serta peraturan itu berpotensi membuka ruang untuk korupsi, seperti yang terjadi pada kasus korupsi bawang putih tahun 2019.
Di sisi lain, Indonesia sudah swasembada bawang merah sehingga mampu mengekspor. Jika dibandingkan, menurut data BPS, produksi bawang putih di tahun 2018 sebanyak 39.302 ton, sementara produksi bawang merah sebanyak 1.503.438 ton.
"Ekspor bawang merah tentunya perlu terus didukung, namun bukan dengan cara menghubungkannya dengan impor bawang putih. Jika impor bawang putih dihubungkan dengan ekspor bawang merah, pasokan dan harga bawang putih bisa terancam," katanya.
Selain itu, ujar dia, peraturan ini berpotensi membuat distorsi pasar bawang merah. Dorongan bagi petani untuk mengekspor bawang merahnya ke luar negeri bisa mengancam pasokan bawang merah dalam negeri yang berpotensi mengakibatkan harga bawang merah ikut melambung.
Sebelumnya, Perkumpulan Pelaku Usaha Bawang dan Sayuran Umbi Indonesia (Pusbarindo) menilai Permentan Nomor 39 Tahun 2019 yang mengatur soal kewajiban tanam bagi importir bawang putih memberi ketidakpastian pada pelaku usaha.
Dalam rapat dengar pendapat bersama Komisi IV DPR, Ketua II Pusbarindo Valentino menjelaskan bahwa Peraturan Menteri Pertanian (Permentan) Nomor 39 Tahun 2019 tentang Rekomendasi Impor Produk Hortikultura (RIPH) tersebut memiliki perbedaan dari aturan sebelumnya, yakni Permentan Nomor 38 Tahun 2017.
"Tidak ada kepastian, karena dalam peraturan yang baru, kita tidak tahu RIPH kita di-approve atau tidak. Di peraturan sebelumnya, tanam dulu sebelum RIPH terbit, sekarang dapat RIPH dulu baru tanam," katanya di Kompleks DPR/MPR Senayan Jakarta, Senin (20/1).
Adapun dalam Permentan 38/2017, importir bawang putih diwajibkan melakukan penanaman bawang putih sebesar lima persen dari total kuota impor yang akan diajukan kepada pemerintah.
Dari total kewajiban tanam itu, importir baru harus bisa menghasilkan produksi 25 persen bawang putih dari kuota wajib tanam untuk bisa mendapatkan rekomendasi impor produk hortikultura (RIPH) dari Kementan.
Sementara importir lama harus memproduksi 10 persen agar RIPH terbit. Produksi tersebut diperuntukkan menjadi benih bawang putih yang akan ditanam kembali dalam periode selanjutnya.