EKBIS.CO, JAKARTA -- Dari tahun ke tahun, tingkat Non Performing Loan (NPL) atau kredit macet di industri financial technology (fintech) peer-to-peer (P2P) lending terus mengalami kenaikan. Untuk menekan angka risiko gagal bayar, Asosiasi Fintech Pendanaan Bersama Indonesia (AFPI) menginisiasi pembuatan Fintech Data Center (FDC).
FDC memungkinkan semua data antar penyenggara fintech yang telah terdaftar dan mendapatkan izin dari Otoritas Jasa Keuangan (OJK) saling berintegrasi. Melalui pusat data tersebut, penyelenggara fintech P2P lending mampu mengetahui portofolio calon peminjam dan melakukan credit assessment sehingga dapat mencegah potensi kredit bermasalah.
"Dengan FDC platform bisa mendapatkan informasi dan indikasi apakah calon peminjam sudah pernah atau belum pinjam di platform lain," kata Ketua Bidang Technical Support AFPI, Ronald T Andi Kasim, Rabu (5/2).
Menurut Ronald, FDC menjadi layanan pendukung bagi platform untuk melakukan verifikasi data kelayakan nasabah. Sebelum adanya FDC, kebanyakan platform menggunakan jasa pemeringkat kredit bahkan Artificial Intelligence (AI) untuk menghindari debitur dengan catatan perilaku meminjam buruk dan identifikasi penipuan.
FDC ini berisikan data Nomor Pokok Wajib Pajak (NPWP), Kartu Tanda Penduduk (KTP), dan kolektabilitas kredit dari peminjam. Ronald memastikan semua data pribadi yang diintegrasikan melalui FDC terjaga keamanannya. Sementara untuk nama penyelenggara fintech P2P lending yang memberikan data juga akan dirahasiakan.
"Semua data terenkripsi. Ada mekanisme data security supaya data identitas borrower terjaga. Kita juga atur dari sisi pengaksesannya," tutur Ronald.
Saat ini, menurut Ronald, baru ada lima anggota AFPI yang datanya telah terintegrasi pada layanan FDC yaitu Julo, Danamas, Mekar, Finmas, dan Maucash. Kelimanya sudah berintegrasi secara real time dengan FDC sejak 31 Januari 2020 hingga 3 Februari 2020.
Kepala Bidang Kelembagaan dan Humas AFPI, Tumbur Pardede mengatakan FDC ini akan membantu penyelenggara fintech P2P lending untuk mendeteksi dan memberikan tindakan preventif bagi calon peminjam yang melakukan pinjaman berlebih di banyak platform secara bersamaan.
“FDC ini menjawab masalah di industri selama ini, karena dengan FDC, platform dapat mengetahui calon peminjam sudah meminjam ke berapa banyak platform," terang Tumbur.
Tumbur menambahkan FDC menjadi inovasi terbaru dalam memperkuat arsitektur AFPI yang diawasi oleh Komite Etik dalam menjalankan fungsinya sebagai pengatur dan pengawas industri. Sebelumnya arsitektur AFPI terdiri dari policy advocacy, code of conduct, literasi dan edukasi, data knowledge and intelligence, serta kolaborasi.
“FDC juga menjadi cara kami untuk berkolaborasi dengan lebih banyak pihak seperti perbankan dan pembiayaan demi meningkatkan kapasitas bersama, memaksimalkan fungsinya bagi masyarakat Indonesia yang selama ini belum memiliki akses ke institusi jasa keuangan,” kata Tumbur.
Dalam pengembangannya, lanjut Tumbur, FDC juga bisa diintegrasikan ke data milik perbankan atau bahkan Sistem Layanan Informasi Keuangan (SLIK) milik Otoritas Jasa Keuangan (OJK). Ke depannya, AFPI juga akan menggandeng lembaga kependudukan lain untuk memperkaya data FDC.
Berdasarkan data OJK, per Desember 2019, sudah terdapat 164 penyelenggara fintech P2P lending yang berstatus terdaftar di OJK. Sebanyak 25 diantaranya berstatus berizin. Total penyaluran pinjaman di industri ini pada tahun lalu tercatat mencapai Rp 81,5 triliun atau meningkat 259 persen secara tahunan.