EKBIS.CO, JAKARTA -- Pemerintah resmi menaikkan harga acuan daging dan telur ayam ras untuk mengimbangi penyesuian tingkat harga di pasar. Kenaikan harga acuan tersebut dituangkan dalam Peraturan Menteri Perdagangan Nomor 7 Tahun 2020 tentang Harga Acuan Pembelian di Tingkat Petani dan Harga Acuan penjualan di Tingkat Konsumen.
Terbitnya Permendag Nomor 7 Tahun 2020 secara langsung menggantikan Permendag Nomor 96 Tahun 2018 yang sebelumnya mengatur harga acuan komoditas pangan strategis.
Acuan harga pembelian daging ayam ras ditingkat peternak dinaikkan dari Rp 18 ribu-Rp 19 ribu per kilogram (kg) menjadi Rp 19 ribu-Rp 20 ribu per kg. Sementara harga acuan di tingkat konsumen naik dari Rp 34 ribu per kg menjadi Rp 35 ribu per kg.
Beleid baru juga mengatur harga anak ayam broiler usia sehari (DOC) sebesar Rp 5.000-Rp 6.000 per ekor sekaligus DOC untuk ayam layer sebesar Rp 8.000 - Rp 10.000 per ekor.
Adapun untuk acuan harga telur ayam di tingkat petani ikut dinaikkan dari Rp 18 ribu-Rp 20 ribu per kg menjadi Rp 19 ribu-Rp 21 ribu per kg sedangkan di tingkat konsumen naik dari Rp 23 ribu per kg menjadi Rp 24 ribu per kg.
Seiring dinaikkan harga daging dan telur ayam ras, pemerintah juga menaikkan harga acuan jagung di tingkat konsumen dan peternak dari Rp 4.000 per kg menjadi Rp 4.500 per kg. Jagung merupakan bahan pakan bagi ternak unggas.
Ketua Perhimpunan Insan Perunggasan Rakyat Indonesia (Pinsar) Jawa Tengah, Pardjuni, mengatakan, kenaikan harga itu menjadi angin segar bagi usaha ternak ayam broiler yang lebih dari setahun terakhir mengalami kejatuhan harga. Kenaikan harga sebesar Rp 1.000 per kgjuga sesuai harapan para peternak.
Hanya saja, Pardjuni menegaskan, kenaikan harga acuan itu harus diimbangi dengan kontrol permintaan dan penawaran ayam yang seimbang agar harga tetap terjaga. Seperti diketahui, peternak broiler telah mengalami kerugian dalam 18 bulan terakhir akibat adanya kejatuhan harga imbas populasi ayam hidup dalam negeri yang berlebih.
"Jadi bukan hanya soal angka tapi saat nanti terjadi penurunan harga, bagaimana tindakan pemerintah. Tanpa itu, percuma ada harga acuan," kata Pardjuni saat dihubungi, Kamis (13/2).
Ia menuturkan, harga terendah ayam hidup di peternak sudah menyentuh Rp 19 ribu per kg. Naiknya harga ayam dipicu oleh pengendalian populasi oleh Kementerian Pertanian yang dilakukan sebulan terakhir.
Dengan posisi harga itu, peternak broiler mulai bisa menutupi kerugian yang dialami selama ini. Namun, dibutuhkan waktu minimal satu tahun untuk pemulihan kerugian dengan catatan harga stabil sesuai acuan pemerintah.
Pihaknya pun meminta kepada perusahaan integrator unggas yang menyediakan DOC untuk tidak langsung menaikkan harga sesuai acuan. Saat ini, menurut Pardjuni, rata-rata harga DOC broiler yang diterima peternak antara Rp 4.500-Rp 5.000 per kg atau masih di bawah harga acuan baru.
"Kita minta integrator jangan langsung naikkan harga DOC karena melihat harga ayam di peternak sudah naik. Kalau DOC naik, keuntungan yang kita terima akan habis untuk beli DOC, bukan menutupi kerugian selama ini," katanya.
Pardjuni menegaskan dan meminta pemerintah untuk berkomitmen menjaga keseimbangan antara populasi dan kebutuhan ayam domestik. "Supaya peternak broiler bisa mengembalikan utang," tuturnya.
Sementara itu, Presiden Peternak Layer Nasional, Musbar Mesdi menyambut baik kenaikan harga acuan telur. Sebab, harga jagung sebagai bahan utama pakan ayam layer pada awal tahun ini telah mengalami kenaikan ke angka Rp 5.000 per kg.
"Harga jual telur on farm kita bisa disesuaikan dengan harga bahan pakan pokoknya. Harga telur pasti naik karena harga jagung naik," kata Musbar.
Musbar menjelaskan, setiap awal tahun situasi harga jagung kerap kali mengalami kenaikan karena minimnya produksi. Itu membuat peternak layer kesulitan mencari pakan untuk ternaknya.
Hal itu berdampak langsung pada fluktuasi produksi telur ayam yang tidak stabil. Pihaknya berharap dinaikkannya harga acuan telur akan memberikan kepastian keberlanjutan usaha peternakan ayam layer di Indonesia.