EKBIS.CO, JAKARTA -- Komoditas gula untuk konsumsi masyarakat masih memerlukan bantuan pasokan impor. Pemerintah pun telah memasukkan gula impor sebanyak 495 ribu ton secara bertahap sejak awal tahun ini. Perhimpunan Ekonomi Pertanian Indonesia (Perhepi) menilai efisiensi produksi gula menjadi kendala utama.
Ketua Umum Perhepi, Hermanto Siregar, mengatakan, tingkat efisiensi untuk memproduksi gula di Indonesia masih rendah. Dengan kata lain, gula di dalam negeri diproduksi dengan biaya yang lebih tinggi dari negara lain.
"Efisiensi gula itu rendah. Ada dua yang menentukan, budidaya tebu oleh petani lokal serta kemampuan pabrik gula kita," kata Hermanto di Jakarta, Selasa (18/2).
Ia menjelaskan, masalah budidaya tebu terutama akibat minimnya ketersediaan lahan. Di satu sisi, budidaya tebu masih terpusat di Jawa yang saat ini terus mengalami penyempitan lahan pertanian imbas pembangunan yang masif.
Alhasil, petani memiliki untuk mengalihkan komoditas yang ditanam kepada komoditas-komoditas yang lebih mudah dibudidayakan namun memberikan keuntungan besar.
Adapun soal pabrik gula, Hermanto menyebut perlu adanya revitalisasi industri pabrik gula di Indonesia. "Pabrik gula perlu revitalisasi karena mesin-mesinnya banyak yang tua dan itu membuat rendemen gula jadi rendah," kata Hermanto.
Oleh sebab itu, pemerintah harus mendorong tumbuhnya industri-industri pabrik gula sekaligus area pertanaman tebu di luar Jawa. Sebab ketersediaan lahan masih cukup besar dan potensial untuk membudidayakan tebu sebagai basis utama penghasil gula.
Soal impor yang salah satunya akan didatangkan dari India, Hermanto menyebut hal itu sebagai salah satu hubungan timbal balik antara Indonesia dan India yang memiliki kerja sama perdangan. "Toh, gula India juga kompetitif dari segi harga dan kualitas. Dinamika harga juga menentukan," ujarnya.