EKBIS.CO, JAKARTA -- Tingginya kepadatan penduduk menyebabkan sebagian warga DKI Jakarta terkendala mencari hunian yang terjangkau alias murah. Sebut saja pada kisaran harga Rp 150 juta sampai Rp 300 juta.
Bahkan dalam radius megapolitan yang mencakup Bogor, Depok, Tangerang, Bekasi (Bodetabek) hunian terjangkau juga masih sulit didapat. Padahal peminat hunian dengan rentang sebesar itu jauh dari jenuh.
Analis properti Ali Tranghanda menyebutkan pasar properti yang jenuh justru terjadi untuk segmen kelas atas saja. Ini yang membuat pengembang berorientasi pasar premium "lesu darah" dalam beberapa tahun terakhir.
Hal ini secara nyata dapat dilihat saat pameran-pameran perumahan. Justru hunian yang terjangkau, paling banyak diserbu pembeli apalagi kalau lokasinya masih dalam jangkauan kawasan Jabodetabek.
Pembeli hunian terjangkau ini sebagian besar juga berasal dari kalangan milenial. Kalangan milenial dengan rentang usia 25-40 tahun jumlahnya mencapai 80 persen penduduk Indonesia.
Perbankan tentunya sudah mengendus pasar potensial perumahan itu sehingga menyiapkan strategi termasuk memanfaatkan fasilitas pinjaman subsidi dari pemerintah.
Salah satu bank yang tertarik untuk menggarap pasar menengah bawah itu adalah Bank BTN yang memang difokuskan untuk pembiayaan perumahan bagi pasar tersebut.
Hal ini diakui Direktur Utama PT Bank Tabungan Negara Tbk (BTN) Pahala N Mansury yang menyebutkan potensi perumahan dengan harga Rp 150 juta-Rp 300 juta masih jauh dari jenuh.
Pahala pun menyampaikan sinyal-sinyal untuk menggarap pasar menengah bawah itu. Pahala mengatakan segmen menengah ke bawah sebagai lahan subur yang siap digarap. Salah satunya akan disentuh melalui lini digital yang dikembangkan bank BUMN tersebut.
Data keuangan Bank BTN menunjukkan kenaikan kredit dan pembiayaan perseroan ditopang penyaluran kredit perumahan yang tumbuh sebesar 7,32 persen "year on year" (yoy) menjadi Rp 229,26 triliun pada akhir kuartal IV/2019.
Kredit Pemilikan Rumah (KPR) Subsidi menjadi penyumbang utama peningkatan tersebut. KPR Subsidi Bank BTN tercatat naik 13,2 persen yoy dari Rp 98,17 triliun menjadi Rp 111,13 triliun pada kuartal IV/2019. Sedangkan KPR Non-subsidi juga terpantau tumbuh di level 3,71 persen yoy menjadi Rp 80,64 triliun di akhir Desember 2019.
Data ini menunjukkan alokasi yang disediakan Bank BTN terbesar masih merupakan KPR subsidi dan KPR non-subsidi namun untuk pasar menengah ke bawah. Kalau melihat data ini seharusnya pengembang rumah akan fokus di pasar ini.
Hal ini karena sumber pembiayaannya sudah tersedia, pasar sudah tersedia, subsisidi bagi masyarakat berpendapatan rendah juga sudah tersedia. Tinggal bagaimana minat pengembang perumahan baik swasta maupun BUMN untuk membangunnya.
Pasokan rumah
Pengembang perumahan untuk segmen menengah ke bawah jumlahnya sangat banyak. Sebagai gambaran, anggota REI yang jumlahnya mencapai 3000 perusahaan itu, sebanyak 80 persen merupakan pengembang spesial pasar tersebut.
Belum termasuk organisasi lainnya seperti Himpera, Apersi dan lain sebagainya. Mayoritas memang didominasi pengembang kecil dengan segmen pasar menengah ke bawah.
Peluang itu bukan tidak dirasakan pengembang perumahan, beberapa sudah menggelontorkan pembangunan menyasar segmen menengah bawah. Salah satunya Ciputra yang mengembangkan apartemen di Ciracas dengan harga Rp 300 jutaan.
Lantas pertanyaan apakah kebutuhan rumah terjangkau bagi masyarakat itu sudah dipenuhi?
Jawabannya, menurut Ali Tranghanda yang juga Direktur Eksekutif Indonesia Property Watch (IPW) memang masih membutuhkan kerja keras lagi. Mengingat banyak faktor yang harus dipenuhi untuk mewujudkan hunian terjangkau.
Salah satu yang membuat pengembang mengalami kesulitan membangun hunian murah adalah ketersediaan lahan. Apalagi di DKI Jakarta kemungkinan akan sulit untuk mencari lahan murah.
Pemerintah tengah berencana untuk membentuk holding di bidang perumahan yang melibatkan sejumlah BUMN. Salah satu agendanya pengadaan bank tanah untuk rumah dengan harga terjangkau baik rumah tapak maupun susun (apartemen).
Soal lain yang juga masih terus dikoordinasikan untuk mewujudkan rumah murah adalah izin-izin. Bahkan Asosiasi Pengembang Perumahan Seluruh Indonesia (Apersi) menyebutkan izin membangun rumah bisa mencapai Rp 10 juta atau setara dengan 10 persen harga rumah paling murah.
Tidak hanya itu. Jangka waktu pengurusan yang tidak pasti membuat biaya-biaya juga ikut naik. Salah satunya bunga bank kalau bangunan tidak kunjung berdiri berarti tidak bisa jualan rumah. Di sisi lain bank tetap menghitung bunga pinjaman.
Prospek 2020
Pahala mengakui prospek di sektor pembangunan rumah untuk tahun 2020 masih dibayangi kondisi perlambatan ekonomi. Namun peluang bisnisnya tetap terbuka lebar.
Berbagai potensi bisnis yang masuk dalam radar, menurut Pahala, seiring dengan berkembangnya sentra-sentra pertumbuhan baru. Berbagai sentra tersebut muncul dari tren urbanisasi, peningkatan kelas menengah, pengembangan infrastruktur, hingga pemindahan Ibu Kota Negara.
Terkait hal itu, berbagai strategi dan peluang sudah dipersiapkan. Salah satunya upaya perbankan menggaet pasar milenial. BTN pun melakukan pendekatan menggunakan teknologi digital.
Permohonan KPR dapat dilaksanakan melalui website sesuai dengan keinginan pasar yang dituju. Yakni kalangan milenial yang menginginkan segala sesuatunya serba praktis dan berbasis digital.
Pahala dalam pertemuan dengan wartawan menjanjikan teknologi berbasis digital. Persetujuan/penolakan KPR dapat dilakukan dalam waktu singkat cukup dengan mengunggah syarat-syarat permohonan KPR sesuai dengan keterangan yang tercantum dalam website.
Hasil survei dari kalangan milenialberharap KPR yang tersedia di perbankan dapat mengakomodir keinginan mereka. Yakni terjangkau serta tidak "ribet" untuk mengurusnya.
Sedangkan untuk rumah, kalangan milenial menginginkan hunian yang juga serba praktis, mudah dijangkau angkutan umum, serta menyediakan fasilitas internet berkecepatan tinggi.
Untuk urusan desain mereka juga memberikan persyaratan yakni harus sederhana namun kuat untuk jangka panjang. Ditambah lagi optimalisasi ruangan, bagi mereka tidak menjadi soal kalau lahannya sempit namun minimalis untuk memberikan kesan lapang.
Sebenarnya keinginan milenial ini sudah ditangkap kalangan pengembang perumahan. Hal ini juga sudah diwujudkan di sejumlah proyek baik rumah tapak dan apartemen. Namun kembali kepada lokasinya ada beberapa yang ternyata masih jauh dari akses transportasi publik.
Dengan demikian memang masih membutuhkan banyak koordinasi untuk mewujudkan hunian terjangkau di Jabodetabek. Butuh kearifan lokal dari pemerintah daerah selaku pemberi izin ditambah dengan kebijakan pemerintah pusat.