EKBIS.CO, JAKARTA -- PT Astra International Tbk membukukan laba bersih secara konsolidasi sebesar Rp 21,7 triliun pada 2019. Capaian tersebut mencerminkan kinerja yang stabil jika dibandingkan tahun sebelumnya yang membukukan laba Rp 21,6 truliun.
Presiden Direktur Astra, Prijono Sugiarto, mengakui tahun industri otomotif khususnya Astra menghadapi tantangan yang cukup berat. "Kinerja Grup selama 2019 terimbas pelemahan konsumsi domestik dan rendahnya harga-harga komoditas," kata Prijono, dalam keterangan pers, Kamis (27/2).
Pendapatan bersih konsolidasian Grup pada 2019 menurun satu persen menjadi Rp 237,2 triliun. Penurunan ini utamanya disebabkan oleh penurunan pendapatan dari divisi otomotif dan agribisnis. Penurunan tersebut lebih besar daripada peningkatan pendapatan dari divisi jasa keuangan serta infrastruktur dan logistik.
Astra juga mencatatkan peningkatan utang bersih di luar Grup anak perusahaan jasa keuangan, mencapai Rp 22,2 triliun di akhir 2019. Sedangkan akhir 2018, utang bersih hanya tercatat sebesar Rp 13,0 triliun.
Menurut Prijono, peningkatan nilai utang ini terutama disebabkan oleh tambahan investasi pada jalan tol dan Gojek serta belanja modal pada bisnis kontraktor penambangan. Meski demikian, lanjut Prijono, Grup masih diuntungkan oleh peningkatan kinerja dari bisnis jasa keuangan dan kontribusi dari tambang emas yang baru diakuisisi.
Prijono mengungkapkan bisnis yang berkontributor terbesar terhadap laba yaitu dari divisi otomotif senilai Rp 8,36 triliun. Namun capaian tersebut turun dari 2018 yang mencapai Rp 8,51 triliun. Hal ini disebabkan oleh penurunan volume penjualan mobil dan meningkatnya biaya-biaya produksi.
Penjualan mobil Astra turun delapan persen menjadi 536 ribu unit. Penurunan penjualan ini sejatinya seiring dengan penurunan penjualan mobil secara nasional yang turun 11 persen menjadi 1,03 juta unit pada 2019.
Sementara itu, penjualan sepeda motor Astra Honda meningkat 3 persen menjadi 4,9 juta unit dengan pangsa pasar sebesar 76 persen. Sedangkan penjualan sepeda motor secara nasional hanya meningkat dua persen menjadi 6,5 juta unit.
Prijono melihat prospek bisnis industri otomotif pada 2020 masih akan menantang disebabkan ketidakpastian kondisi makro eksternal, kompetisi di pasar mobil serta harga-harga komoditas yang lemah.
"Meskipun demikian, kami yakin bahwa Grup berada pada posisi yang baik untuk memanfaatkan momentum dari setiap perbaikan kondisi ekonomi," tutupnya.