Jumat 28 Feb 2020 15:23 WIB

Berbulan-Bulan, Harga Garam Petambak Ada di Titik Terendah

Saat ini garam produksi petambak hanya dihargai Rp 300 per kilogram.

Rep: Dedy Darmawan Nasution/ Red: Nidia Zuraya
Petambak asal Desa Ciparagejaya, Kecamatan Tempuran, Karawang, sedang memanen garam. ilustrasi
Foto: Dok Koperasi Garam Segarajaya
Petambak asal Desa Ciparagejaya, Kecamatan Tempuran, Karawang, sedang memanen garam. ilustrasi

EKBIS.CO, JAKARTA -- Nasib petambak garam rakyat belum juga membaik. Sejak masa panen pertengahan 2019 lalu harga garam masih jauh di bawah biaya produksi. Para petambak garam terpaksa memangkas biaya perawatan tambak yang akan berdampak pada produktivitas jangka panjang.

Ketua Umum Asosiasi Petani Garam Rakyat Indonesia, Jakfar Sodikin mengungkapkan seharusnya harga garam saat ini mengalami kenaikan. Terutama untuk sentra-sentra garam di pulau Jawa karena tengah memasuki musim penghujan dan belum adanya produksi baru.

Baca Juga

"Tapi, ini malah turun. Menurut saya ini tetap akibat supply-demand. Suplai terlalu banyak, penyerapan juga terasa turun," kata Jakfar saat dihubungi, Jumat (28/2).

Di Madura sebagai pusat sentra garam lokal, garam kualitas II hanya dihargai Rp 300-Rp 350 per kilogram (kg) sedangkan kualitas I sebesar Rp 400 per kg. Adapun biaya produksi garam saat ini sudah mencapai Rp 900-Rp 950 per kg sehingga petambak dipastikan merugi.

Jakfar mengungkapkan, untuk bisa menyesuaikan harga pasar, para petambak garam menghilangkan beberapa komponen biaya pembentuk ongkos produksi.

Di antaranya, perawatan dan perbaikan tambak sebelum persiapan musim tanam, pengerasan tanah, perbaikan geomembran, serta menurunkan upah buruh dari Rp 100 ribu per hari menjadi Rp 30-50 ribu per hari. Waktu panen garam yang biasanya dilakukan per minggu juga diringkat menjadi per bulan.

"Jadi ada beberapa yang dikorbankan. Padahal ini waktunya perbaikan tambak. Kalau dibiarkan, dua sampai tiga tahun lagi tambak garam itu akan rusak, produksinya juga akan berkurang," tuturnya.

Soal penyebab masih rendahnya harga garam, Jakfar menduga akibat garam impor. Ia menjelaskan, garam rakyat dibeli oleh para perusahaan pengolah garam sebelum dijadikan sebagai garam konsumsi. Namun, hingga saat ini permintaan garam dari perusahaan pengolahan juga rendah.

Menurutnya, penurunan konsumsi garam masyarakat tidak mungkin terjadi. Pasalnya garam merupakan komoditas pangan yang tidak bisa disubstitusi. Lain halnya seperti gula tebu yang bisa digantikan gula aren maupun beras diganti dengan bahan pangan karbohidrat lainnya.

Oleh sebab itu, Jakfat menuturkan, rendahnya penyerapan garam lokal dari para perusahaan pengolahan disinyalir akibat adanya suplai garam lain. "Masak perusahaan tidak mau produksi garam? Berarti ada dugaan diisi dari suplai lain, ya garam impor," kata dia.

Sebagaimana diketahui, garam impor hanya dikhususkan untuk kebutuhan industri yang menggunakan garam sebagai bahan baku produksi. Sementara garam lokal diprioritaskan sebagai bahan konsumsi masyarakat karena alasan kualitas.

Pada tahun 2019 lalu, pemerintah lewat Kementerian Perindustrian meneken perjanjian dengan Asosiasi Industri Pengguna Garam Indonesia (AIPGI) untuk penyerapan garam lokal sebanyak 1,1 juta ton periode 2019-2020 dari rata-rata produksi garam lokal sekitar 2,3 juta ton.

Adanya perjanjian itu, diharapkan bisa membantu penyerapan garam lokal sekaligus mencegah kejatuhan harga. Adapun sektor industri yang telah bisa membuka pintu bagi garam lokal di antaranya seperti industri water treatment, penyamakan kulit, pakan ternak, dan pengasinan ikan.

BACA JUGA: Update Berita-Berita Politik Perspektif Republika.co.id, Klik di Sini
Advertisement
Advertisement
Advertisement
Advertisement