EKBIS.CO, JAKARTA -- Gabungan Pengusaha Kelapa Sawit Indonesia (GAPKI) mencatatkan penurunan volume ekspor sawit pada Jaunari 2020 sebesar 30 persen dibanding periode tahun 2019 lalu. Angka penurunan ini meliputi seluruh kawasan, termasuk China yang ekonominya kini terpukul akibat penyebaran virus corona baru (Covid-19).
Ketua Umum GAPKI Joko Supriyono menjelaskan, pihaknya masih harus melihat lebih dalam apakah penurunan volume ini disebabkan Covid-19 atau imbas perlambatan ekonomi global. Kendati demikian, Joko meyakini bahwa wabah Covid-19 tetap punya andil untuk menekan ekspor CPO asal Indonesia.
"Turunnya secara kasar hampir 30 persen tapi itu semua region jadi saya masih melihat ini apakah karena korona atau perlambatan global. Tapi (corona) pasti ngaruh lah, apa pun pasti akan pengaruh lah pertama kan jangan kan ke sawit seluruh ekonomi dunia aja terpengaruh akan melemah," ujar Joko usai menghadiri pembukaan Raker Kementerian Perdagangan di Istana Negara, Rabu (4/3).
GAPKI juga mencatat, ekspor CPO Indonesia ke China sepanjang 2019 lalu cukup banyak yakni 6 juta ton. Bila ditambah dengan produk oleochemical dan biodiesel, maka produk turunan minya kelapa sawit ke China menyentuh 8 juta ton.
"Itu bisa sampai hampir 5 miliar dolar AS ya cukup besar. Exposure Indonesia China ini sawit aja cukup besar apa lagi terhadap aspek sektor lain tadi saya dengar bahan baku juga," jelasnya.
Joko pun mendukung arahan Presiden Joko Widodo (Jokowi) agar dilakukan relaksasi peraturan ekspor dan impor. Seluruh proses impor bahan baku demi memenuhi kebutuhan dalam negeri harus dimudahkan, begitu juga perizinan ekspor demi menggenjot devisa.
Selain pelonggaran, ujar Joko, pemerintah juga harus memperluas pasar ekspor CPO di luar China. Saat ini, pasar ekspor CPO Indonesia masih terbatas pada China, India, dan Eropa. Sementara itu pasar Timur Tengah dan Afrika menunjukkan peningkatan volume ekspor secara signifikan.
Khusus untuk pasar Afrika, Joko meminta pemerintah Indonesia melakukan negosiasi relaksasi aturan impor di Afrika. Pasalnya, pungutan ekspor untuk produk yang diekspor dalam bentuk kemasan cukup tinggi. Padahal 48 persen produk minyak kelapa sawit ke Afrika sudah dilakukan dalam bentuk kemasan.
"Ditambah lagi Afrika terbatas infrastruktur jadi storage itu terbatas. Jadi maunya dalam bentuk packaging. Jadi kalau mau direview pungutan ekspornya itu akan bisa menpercepat membantu meningkatkan. Karena ini masih kena pungutan," kata Joko.
Selain itu, GAPKI juga menyoroti Permendag nomor 82/2017 tentang Ketentuan Penggunaan Angkutan Laut dan Asuransi Nasional Untuk Ekspor dan Impor Barang Tertentu. Beleid ini mewajibkan semua kegiatan ekspor menggunakan kapal dalam negeri.
"Saya dengar asosiasi kapal sendiri belum siap. Jadi perlu juknis yang lebih jelas dan fleksibel sehingga tidak nanti justru menghambat. Kalau tidak salah pertengahan tahun ini," jelas Joko.