Jumat 27 Mar 2020 17:17 WIB

Pasokan Berlebih, Usaha Peternak Ayam Tetap Merugi

Pada Januari 2020, total produksi ayam nasional sebanyak 235 juta ekor

Rep: Dedy Darmawan Nasution/ Red: Nidia Zuraya
Peternak memberi makan ayam broiler di Desa Gilangharjo, Pandak, Bantul, DI Yogyakarta, Kamis (27/6/2019).
Foto: Antara/Hendra Nurdiyansyah
Peternak memberi makan ayam broiler di Desa Gilangharjo, Pandak, Bantul, DI Yogyakarta, Kamis (27/6/2019).

EKBIS.CO, JAKARTA -- Para peternak ayam yang tergabung dalam Perhimpunan Insan Perunggasan Rakyat Indonesia (Pinsar) masih harus menanggung kerugian akibat harga ayam hidup atau livebird terus mengalami penurunan di bawah biaya produksi. Pasokan berlebih yang masih terjadi disertai penurunan permintaan konsumen dinilai menjadi penyebab utama.

Ketua Pinsar Wilayah Jawa Barat, Mukhlis, mengatakan, penjualan ayam hidup di tingkat peternak wilayah Jabar hanya dihargai Rp 13 ribu - Rp 14 ribu per kilogram. Adapun, harga acuan pemerintah yang mencerminkan biaya produksi ayam saat ini sebesar Rp 19 ribu - Rp 20 ribu per kilogram.

Baca Juga

"Ini jelas karena kelebihan pasokan, karena kalau pasokan tidak berlebih harga tidak seperti sekarang," kata Mukhlis kepada Republika.co.id, Jumat (27/3).

Mukhlis menjelaskan, sebetulnya pemerintah telah melaksanakan cutting atau pengurangan produksi bibit ayam dengan cara penarikan telur tetas usia 19 hari dari mesin penetas di perusahaan integrator perunggasan. Jumlah cutting pada Februari 15 juta butir per minggu sedangkan pada Maret sebanyak 10 juta pada minggu pertama dan kedua serta 2,5 juta untuk minggu ketika dan keempat.

Selain itu, pada Januari 2020, menurut laporan Kementan total produksi sebanyak 235 juta ekor atau sesuai dengan rata-rata kebutuhan nasional. Keseimbangan itu bisa dicapai setelah pemerintah melakukan cutting sebanyak 16 juta butir per minggu. 

Seharusnya, kata Mukhlis, dengan seimbangnya produksi Januari serta cutting Februari-Maret akan secara langsung mengurangi produksi ayam sehingga menyeimbangkan supply-demand ternak ayam di hulu. Dampaknya, bisa dirasakan dari harga yang membaik.

"Tapi realitasnya, harga tetap jatuh. Mulai Februari sudah kacau. Berarti data yang dilaporkan dengan realita ada kemungkinan tidak sama," ujarnya.

Di sisi lain, Mukhlis mengakui bahwa terdapat penurunan permintaan ayam sekitar 15-30 persen di pasar tradisional dan industri hotel, restoran, katering (horeka). Penurunan itu terjadi lantaran wabah Covid-19 yang membuat masyarakat mengurangi aktivitas belanja ditambah adanya penutupan maupun pengurangan jam operasional restoran di berbagai daerah.

Situasi itu pun berdampak pada tertahannya pasokan ayam karkas di gudang-gudang pendingin. "Jadi untuk saat ini kita kelebihan pasokan, permintaannya juga menurun. Harapan kami, pemerintah segera mewujudkan harga acuan yang sudah dibuat oleh pemerintah sendiri," ujarnya.

Sementara itu, Ketua Pinsar Jawa Tengah, Pardjuni, menambahkan, perbaikan harga ayam hidup di tingkat peternak hanya terjadi pada pertengahan Februari lalu yang sempat mencapai Rp 19 ribu per kg. Namun, saat ini harga semakin anjlok hingga Rp 10 ribu - Rp 11 ribu per kg.

Melihat minimnya langkah pemerintah untuk menyelamatkan usaha ternak rakyat, Pardjuni mengatakan bahwa asosiasi peternak bersama perusahaan integrator di pulau Jawa memberlakukan sistem on/off penjualan ayam dari kandang.

Ia menjelaskan, sistem itu membuat adanya pembatasan penjualan dari perusahaan maupun peternakan perorangan yang memiliki kapasitas minimal 50 ribu ekor per minggu atau 200 ribu ekor per bulan. Pembatasan itu dilakukan secara bergantian untuk menyeimbangkan suplai ayam di pasar.

Diharapkan, upaya itu setidaknya bisa mengerek harga ayam hidup ke level Rp 14 ribu - Rp 15 ribu per kg. "Walaupun ini hanya langkah sementara, kita harapkan harga bisa naik. Kita kerja sama antara peternak mandiri dengan perusahaan integrator," ujarnya.

BACA JUGA: Update Berita-Berita Politik Perspektif Republika.co.id, Klik di Sini
Advertisement
Advertisement
Advertisement
Advertisement