EKBIS.CO, JAKARTA -- PT United Tractors Tbk membukukan pendapatan bersih pada kuartal pertama tahun ini sebesar Rp 18,3 triliun. Capaian tersebut turun sebesar 19 persen dibandingkan periode yang sama tahun lalu sebesar Rp 22,6 triliun.
Penurunan pendapatan ini diikuti oleh penurunan laba bersih perseroan yang mencapai 40 persen. Pada tahun lalu, perseroan mampu meraih laba bersih sebesar Rp 3,1 triliun sedangkan tahun ini hanya Rp 1,8 triliun.
Sekretaris Perusahaan, Sara Loebis, mengatakan penurunan kinerja keuangan ini lebih disebabkan oleh perlambatan ekonomi global dan melemahnya harga batu bara. "Hal ini berdampak pada pasar domestik dan membawa tantangan bagi lini bisnis perseroan," kata Sara melalui siaran pers, Selasa (28/4).
Menurut Sara, penurunan kinerja terjadi hampir diseluruh segmen usaha. Untuk segmen Mesin Konstruksi terjadi penurunan penjualan alat berat Komatsu sebesar 48 persen. Pendapatan dari penjualan suku cadang dan jasa pemeliharaan alat juga turun sebesar 21 persen menjadi sebesar Rp 1,7 triliun.
Penjualan UD Trucks juga mengalami penurunan dari 161 unit menjadi 73 unit, dan penjualan produk Scania turun dari 148 unit menjadi 64 unit. Penurunan penjualan UD Trucks dan Scania dikarenakan pengaruh penurunan harga batu bara dimana kedua produk tersebut banyak digunakan di sektor pertambangan.
"Secara total, pendapatan bersih dari segmen usaha Mesin Konstruksi turun 36 persen menjadi sebesar Rp 4,3 triliun dibandingkan Rp 6,8 triliun pada 2019," terang Sara.
Bidang usaha Kontraktor Penambangan yang dioperasikan oleh PT Pamapersada Nusantara (PAMA) membukukan pendapatan bersih sebesar Rp 8,2 triliun atau turun 14 persen dari Rp 9,5 triliun pada 2019. PAMA juga mencatat penurunan volume produksi batu bara sebesar 9 persen dari 30,6 juta ton menjadi 27,9 juta ton.
Sedangkan bidang usaha Industri Konstruksi yang dijalankan oleh PT Acset Indonusa Tbk (ACSET) membukukan pendapatan bersih sebesar Rp 475 miliar atau turun dari sebelumnya sebesar Rp 802 miliar pada periode yang sama tahun lalu.
ACSET juga mencatat rugi bersih sebesar Rp 124 miliar dari sebelumnya mencatat rugi bersih sebesar Rp 91 miliar pada 2019. Hal ini dikarenakan bertambahnya biaya atas keterlambatan proyek berjalan dan peningkatan biaya keuangan akibat mundurnya penerimaan pembayaran proyek contractor pre-financing (CPF).