EKBIS.CO, JAKARTA -- Staf Khusus Menteri Keuangan Bidang Kebijakan Fiskal dan Makroekonomi Masyita Crystallin memprediksi, konsumsi rumah tangga terhadap beberapa komponen akan semakin dalam pada kuartal kedua. Khususnya pada barang sekunder seperti pakaian dan alas kaki, transportasi serta restoran.
Proyeksi itu sejalan dengan physical distancing dan pengurangan aktivitas penduduk seiring kebijakan Pembatasan Sosial Berskala Besar (PSBB). "Pengeluaran yang sifatnya tidak prioritas ini akan terus tertekan," kata Masyita dalam keterangan resmi, Rabu (6/5).
Merujuk pada data Badan Pusat Statistik (BPS), konsumsi rumah tangga terhadap pakaian, alas kaki dan jasa perawatannya kontraksi hingga 3,29 persen pada kuartal pertama. Sementara itu, tingkat konsumsi pada transportasi juga tumbuh negatif hingga 1,81 persen. Di sisi lain, konsumsi terhadap restoran dan hotel masih tumbuh 2,39 persen, meski melambat dibandingkan tahun lalu, 5,54 persen.
Di sisi lain, konsumsi kebutuhan pokok seperti makanan dan minuman di luar restoran masih cukup terjaga di atas lima persen. Sektor kesehatan justru menunjukkan peningkatan hingga 7,85 persen, lebih tinggi dibandingkan periode yang sama pada tahun lalu, 5,54 persen.
Masyita mengatakan, pada tahun ini, pola konsumsi pasti berubah karena pembatasan interaksi antarmanusia. Oleh karena itu, masyarakat akan fokus pengeluaran pada bahan kebutuhan pokok.
"Konsusmi yang masih dapat terjaga adalah makanan dan minuman selain restoran serta jasa kesehatan yang proporsinya mencapai 44 persen dari konsumsi rumah tangga," tuturnya.
Secara umum, Masyita menuturkan, perlambatan konsumsi dan investasi pada kuartal I memang cukup dalam. Sementara konsumsi tumbuh 2,84 persen dari 5,02 persen pada kuartal pertama 2019, investasi hanya tumbuh 1,70 persen dari 5,03 persen. Ini terjadi meskipun pandemi Covid-19 baru berdampak ke ekonomi sejak Maret.
Perlambatan itu disebabkan oleh beberapa sektor sebenarnya sudah mulai terdampak akibat disrupsi rantai pasok dari Cina sejak Februari. "Bahkan, sektor pariwisata telah terpengaruh sejak Januari," ujarnya.
Sepanjang tahun, Masyita memproyeksikan, investasi swasta maupun pemerintah akan sama-sama mengalami kontraksi. Sebab, dana proyek infrastruktur banyak dialihkan pada penanganan Covid-19. Situasi ini berpotensi menimbulkan gejolak pada ketenagakerjaan Indonesia.
Kondisi tersebut diperdalam dengan sektor-sektor penyerap tenaga kerja tertinggi yang mengalami tekanan. Mereka adalah sektor pertanian, perdagangan dan industri. "Dalam estimasi pemerintah, jika pertumbuhan ekonomi di tahun 2020 berada pada skenario sangat berat di minus 0.4 persen, tambahan pengangguran dapat mencapai 5,23 juta orang," ucap Masyita.